Humaniora

Tragedi Setan (45) : Manusia Itu Terbanyak Mengkambing-hitamkan Iblis

Kesadaran akan Yang Maha Pengasih dalam hatinya ini, menurut Iblis, adalah sumber keinginannya untuk membantu Mu'awiyah. Balasan dari Mu'awiyah adalah membaca keras-keras daftar tipu daya Iblis yang licik, dan serangkaian litani kerusakan spiritual yang diperankan dalam sejarah umat manusia dari awal mula.

Jawaban Iblis menyebutkan kembali teori-teori yang bertentangan dari para ahli tafsir Al-Qur'an tentang sifat makhluk setan yang sebenarnya.

Iblis menggambarkan dirinya sendiri sebagai sebuah instrumentum deo conjunctum, yaitu suatu instrumen Allah yang harus mematuhi tuannya dalam semua hal. Dia mengaku tidak memiliki kekuasaan untuk memilih dengan bebas bagi dirinya untuk terpisah dari Allah. Menurut Iblis, dia tidak dapat melakukan apa-apa, selain memberikan ujian bagi manusia, suatu ujian yang diharuskan oleh Allah.

Jika manusia jatuh, itu adalah kejatuhannya sendiri. Sebab setan muncul dari manusia sendiri, bukan dari Iblis yang diperlakukan secara tidak adil dan dijadikan sebagai kambing hitam oleh manusia untuk rasa sakit yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri.

"Bagi orang-orang yang saleh aku bertindak sebagai petunjuk. Batang kering yang aku potong. Untuk alasan apa aku mempersiapkan makanan hewan? Untuk memperjelas jenis binatang apa ini!"

"Bagaimana aku dapat menjadikan seseorang yang baik menjadi buruk? Aku bukan Allah. Aku hanyalah makhluk yang mengajak. Aku bukan Pencipta mereka. Akukah yang membuat apa yang baik menjadi cabul? Aku bukan Tuhan! Aku hanyalah cermin dari keindahan dan keburukan."

Mu'awiyah terkuasai oleh kata-kata itu dan merasa tak berdaya di hadapan antagonisnya. Dalam keputusasaan dia memohon pertolongan kepada Allah terhadap akal bulus dan penipuan Iblis. Sementara itu pada saat yang sama dia berhadapan dengan Iblis lagi dengan suatu tuntutan akan kebenaran.

Wahai Iblis! Perusak makhluk, dan penggoda manusia, mengapa engkau membangunkan aku? Katakan yang sebenarnya!"

Iblis menjawab, "Mengapa engkau mengeluh kepada Allah tentang aku, wahai manusia tolol? Lebih baik engkau mengeluh tentang setan yang mengotori jiwa rendahmu.

Engkau makan halwa, sehingga timbul borok padamu. Demam menyerang, dan seluruh temperamenmu kacau balau. Karena engkau tidak menyadari bahwa penipuan muncul dari dirimu sendiri, engkau pengutuk Iblis, yang tiada berdosa.

Wahai manusia yang tersesat, ini bukanlah kesalahan Iblis, ini adalah kesalahan dirimu sendiri. Dimana engkau sangat tergesa-gesa seperti seekor serigala di belakang ekor biri-biri yang gemuk."

Iblis menggambarkan dirinya sebagai korban tragis yang secara taat membiarkan dirinya sendiri dikutuk dan dicaci maki karena ini adalah kehendak Allah baginya. Iblis hanyalah sekedar alat Allah. Pilihan kebebasan manusia adalah apa yang memenangkan baginya kebahagiaan surgawi atau siksa api neraka.

Mu'awiyah, yang telah diberikan kekuatan dengan karunia Allah, tidak mempan dengan percakapan-percakapan yang kedengarannya mengharukan ini. Dia tetap meminta untuk diceritakan tentang niat Iblis yang sebenarnya dalam membangunkan dia untuk mengerjakan shalat. Tanpa ratapan palsu, Iblis akhirnya menjelaskan.

'Azazil berkata kepadanya,"Wahai raja yang bijak, aku harus membuat tipu daya di hadapanmu. Jika engkau membiarkan waktu shalat berlalu, karena kesedihanmu yang menyayat hati, engkau akan berkeluh-kesah dan menunjukkan penyesalan. Keluh-kesah, penyesalan dan kerinduan itu akan melebihi dua ratus dzikr dan shalat.

Oleh karena itu, aku membangunkan engkau. Aku takut keluh-kesah seperti itu akan membakar habis selubung. Sebab keluh-kesah seperti itu bukanlah keluh kesahmu, engkau tak dapat menemukan sebuah jalan untuk itu.

Aku adalah makhluk yang iri hati. Dari kecemburuan aku melakukan segala sesuatu. Aku adalah musuh. Pekerjaanku adalah tipu daya dan kebencian.

Mu'awiyah senang dapat membuka kedok Iblis yang cerdik dengan tipu dayanya yang licik. "Engkau menyuruhku pada kebaikan agar engkau bisa mengalihkan aku dari kebaikan yang lebih baik."

Namun demikian, apa yang penting dicatat adalah, bahwa pengaruh secara keseluruhan dari bagian Mathsnawi ini pada dasarnya tidak mengakibatkan semakin besarnya kebencian atau permusuhan pihak pembaca terhadap Iblis.

Sungguh sesuatu yang bertentangan benar-benar terjadi.

Sebab Iblis digambarkan sebagai sosok yang jauh lebih baik, bernuansa dan bersimpatik dari dua karakter. Sedang Mu'awiyah adalah statis, satu dimensi, suatu jenis "manusia" yang lemah lembut.

Oleh karena itu, -ini bukan upaya untuk menyimpulkan- Rumi sebenarnya mempertimbangkan Iblis sebagai sebuah kekuatan bagi kejahatan dan kerusakan. Dia pada saat yang sama mengakui tragedi yang terjadi pada pusat kepribadian Iblis, suatu tragedi yang menambah ketinggiannya dengan mengedepankan konflik internal antara cinta Iblis yang penuh gairah kepada Tuhannya, dan sikapnya yang dingin serta sadis terhadap manusia. Paradoks ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena kalau diabaikan. maka akan mengurangi karakter Iblis menjadi sesuatu yang klise. (jss/bersambung)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar