Humaniora

Tragedi Setan (38) : Berbuat Baik Tapi Tak Dapat Pahala, Kenapa?

Al-Kalabadhi dan Al-Kharraz menyatakan, bahwa seseorang harus memelihara kepandaian positifnya bagi dirinya. Ini merupakan tanda manusia yang benar-benar senantiasa menolong orang lain, yang perbuatannya ditujukan untuk Allah semata.

Tentu saja Iblis tidak puas jika membiarkan itu terjadi. Jika perlu, dia akan menunggu selama dua puluh tahun untuk membujuk seorang manusia agar memperlihatkan perbuatan-perbuatan baiknya, yang menyebabkan dia kehilangan pahala yang seharusnya diperoleh.

Iblis akan meniadakan perbuatan baik yang dilakukan, sehingga seseorang tidak lebih dari seorang penyombong yang bangkrut.

Yahya Ibnu Mu'adz kepada orang-orang yang memulai Jalan Spiritual memberikan nasehat, janganlah engkau mencari dunia. Namun jika itu tidak dapat dihindari, carilah dunia, tapi jangan menfokuskan kehendakmu kepadanya, fokuskan, tetapi bukan untuk mencintainya.

Dan jika itu tak dapat dihindari, cintailah dunia tetapi jangan menjadikannya sebagai tempat menetap didalamnya. Sebab, sekalipun banyak hal yang datang darinya, tempat kediaman anda yang sebenarnya adalah di sebuah tempat yang lain.

Sang Pencipta berkehendak menciptakan Iblis, tetapi Dia tidak mencintainya. Dan Dia berkehendak menciptakan Adam, dan Dia mencintainya. Orang yang berbahagia adalah dia yang padanya cinta dan kehendak saling berhubungan.

Selain sangat dipengaruhi oleh keberhasilan wali-wali Allah, orang awam pada umumnya diajak untuk berharap, bahwa dalam kenyataannya seseorang mampu, secara bertahap, untuk mengendalikan kesenangan-kesenangannya, bahkan untuk mencapai suatu titik fana', peleburan dari semua yang bukan Allah.

Al-Kalabadhi memberikan kata-kata Abu Hazim sebagai contoh. Apa dunia itu? Sebagai benda-benda yang telah mati, mereka adalah memimpi-mimpi, sebagai sesuatu yang ada, mereka merindukan dan berkhayal terhadapnya.

Apakah setan itu, sehingga dia ditakuti? Ketika dia dipatuhi, dia tidak lagi memberikan keuntungan apa pun. Dan ketika dia tidak dipatuhi, dia tidaklah membahayakan.

Ini seakan-akan menunjukkan, kata Al-Kalabadhi, bahwa tidak di dunia manapun setan dapat dijadikan pegangan.

Pengasingan diri para Sufi adalah sebuah pelepasan secara radikal dari semua hal yang dapat menghalangi dan merintangi perkembangan sepanjang Jalan Spiritual.

Bagi Iblis, pengasingan diri ini merupakan sebuah dinding yang tebal dan sukar ditembus, yang hampir tidak mungkin untuk melanggarnya. Bujukan-bujukan Iblis terlihat kekanak-kanakan dan dengan merangkak-rangkak ketika mereka menghadapi pertahanan seperti itu.

Hatim berkata, "Setiap pagi Iblis datang kepadaku dan berbisik,'Hari ini, apa yang akan engkau makan? Aku berkata,'Kematian'. Dia berkata,'Apa yang akan engkau pakai? Aku menjawab,'Sebuah kain kafan'. Dia berkata lagi, 'Dimana engkau akan berada?' Aku menjawab,'Di dalam kuburan'. Dia berkata,'Betapa seorang teman yang tidak menyenangkan engkau ini!" Kemudian dia (Iblis) meninggalkan aku dan pergi." (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar