Humaniora

Ini Kuntilanak Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

ilustrasi

Bagi masyarakat Tionghoa, Kuntilanak merupakan arwah gentayangan dari manusia yang mati dengan cara tak wajar. Meninggal akibat kecelakaan, dibunuh, bunuh diri, atau wanita hamil yang meninggal.

Makhluk halus yang biasanya berwujud wanita ini dalam bahasa Cina disebut Cau Bau Kwi. Ia bisa menjelma apa saja. Biasanya lelembut ini menjelma manusia atau sosoknya ketika ia masih hidup.

Dalam pandangan Suhu Acai, kuntilanak itu berwujud wanita. Dalam hal ini ia mati dalam keadaan hamil dan dikubur bersama janinnya. Keadaan itu membuat ia tidak tenang di alamnya. Maka arwahnya pun melayang-layang di bumi. Sosok ini biasanya hanya dapat dlihat oleh orang-orang yang memiliki indra keenam.

Selain itu, ia juga bisa menampakkan wujudnya kepada orang-orang yang pernah dikenalnya ketika masih hidup. Juga ditunjukkan pada keluarganya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut Pendiri Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa (YLKTI) ini, karena keluarga yang ditinggalkan tidak melakukan amalan di dunia. Tidak menyembahyangi ketika kematian menjemputnya.

"Biasanya keluarga yang ditinggalkan sangat tak perduli dengan arwahnya. Atau tidak tahu akan kematiannya. Jadilah ia gentayangan di muka bumi ini," ujar Suhu Acai.

Bagi masyarakat Tionghoa yang menganut Tridarma (Tao Konghucu, Budha), setiap tahun mereka selalu menggelar ritual. Itu dilakukan pada pertengahan bulan tujuh Imlek. Dalam bahasa Cina disebut Sembahyang Chioko. Atau juga dengan sebutan Jiet Yek Pan.

Makna dari upacara ini pemberian sesaji pada roh-roh gentayangan. Jiet Yek Pan atau Chioko merupakan ritual yang dilakukan para leluhur Tionghoa sejak ribuan tahun.

Cit Yek Pan atau Chio Koh di Indonesia dikenal dengan sebutan Sembayang Rebutan. Ini merupakan upacara pemberian sesaji kepada roh-roh yang gentayangan akibat meninggal tidak wajar. Seperti mati bunuh diri, kecelakaan, korban pembunuhan dan kematian lainnya.

Upacara ini biasanya digelar di Vihara maupun klnteng-klenteng. Di hadapan patung dewa para umat Tridarama berdoa yang dilanjutkan dengan pembakaran rumah-rumah kertas atau simbol-simbol yang membwa kesialan.

Upacara ini diakhiri dengan melakukan kegiatan beramal. Seperti bersedekah pada fakir miskin atau pemberian sembako. Ini dalam bahasa China disebut Kong Tet. Irsa/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar