Perubahan SK Kawasan Hutan Dinilai Tak Konsisten

Gapki: Daerah Takut Ambil Kebijakan

PEKANBARU - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai, perubahan Surat Keputusan (SK) Kawasan Hutan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selalu tidak konsisten. Kondisi ini dinilai membuat pemerintah daerah tidak mampu membuat kebijakan yang yang baik terhadap arah pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Itu diungkapkan oleh Legal Advisor Gabki Pusat, Dr Sadino SH MH saat menjadi pembicara dalam acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Sustainable Palm Oil For Life Melalui Tata Kelola Perkebunan yang Efektif di Hotel Premiere Pekanbaru, Selasa (17/9/2019).

Acara yang ditaja oleh Biro Administrasi Perekonomian dan Sumber Daya Alam Setda Riau tersebut menghadirkan sejumlah pembicara. Selain Dr Sadino SH MH dari Legal Advissor Gapki Pusat, juga hadir dari Dinas Tanaman Pangam Hortikultura dan Perkebunan Riau serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Atap Riau.

"Kami menilai ada perubahan SK kawasan hutan yang dilakukan PHK yang tidak konsisten sehingga membuat daerah kesulitanbahkan ketakutan dalam mengambil kebijakan masalah tata kelola hak atas lahan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sehingga membuat daerah selalu dirugikan atas kebijakan tersebut," ujar Sadino.

Sadino mengatakan saat ini perkebunan sawit di Indonesia sangat besar menyumbang devisa untuk negara. Sejak tahun 2015 devisa yang disumbangkan dari industri kelapa sawit mencapai 18,6 miliar USD. Jumlah Ini kata Sadino, selalu meningkat di setiap tahunnya.
 
Sementara untuk luas kebun kelapa sawit di Indonesia, Sadino menjelaskan dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia saat ini mencapai 11.241.262 hektar, dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 2.400.874 hektar.

Namun anehnya Sadino menjelaskan dari hasil monitoring DPRD Provinsi Riau luas perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 4,2 juta hektar. Hal ini berarti ada 1,8 juta hektar lahan ilegal yang ada di Riau dan berarti negara kehilangan pajak sebesar Rp34 triliun.

"Ini yang menjadi pertanyaan saya dari mana dapatnya itu dan bagaimana cara menghitungnya," ujar Sadino.

Dengan banyaknya lahan perkebunan kelapa sawit yang ilegal, Sadino mengatakan harus segera tertibkan namun tetap harus memperhatikan asal usul perkebunan kelapa sawit itu. Baik dari APL atau HPK disesuaikan perizinan, sumber perizinan HGU, atau kebun sawit karena areal transmigrasi.

Sadino menambahkan ada status kebun kelapa sawit karena penugasan dari pemerintah di masa yang lalu, proaktif untuk mendaftar STD-B bagi pekebun di bawah 25 hektare dan membantu percepatan proses TORA bagi kebun masyarakat yang ada di HPK dan membantu proses pemberian hak atas tanah bagi yang belum memperoleh hak atas tanah, agar pemerintah dapat memungut pajak atas tanah dan pajak-pajak lain, yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

‘’Sedangkan status lahan perkebunan kelapa sawit saat ini adalah status hak atas tanah HGU, status HGU dimasukkan dalam SK Kawasan Hutan, baik dalam tahap penunjukan maupun penetapan, belum ada HG. Biasanya akibat tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan penataan ruang dan kehutanan,’’ terangnya.

Kemudian katanya lagi, adanya perubahan SK Kawasan Hutan yang tidak konsisten, tumpang tindih perizinan mengakibatkan kesulitan pemberian hak atas tanah dan tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat dan hak masyarakat lainnya, sehingga tidak bisa ditingkatkan hak atas tanahnya.

Sadino menambahkan banyaknya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berubah, serta isu tentang tata ruang dan wilayah membuat ketidakjelasan tata kelola perkebunan kelapa sawit di daerah. (Bayu)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar