Humaniora

Tragedi Setan (72) : Ini Dialog Fir'aun, Iblis, dan Hallaj

Dia tidak menyadari bahwa Adam adalah makhluk ciptaan Allah, dan ciptaan Allah adalah cerminan bagi-Nya. Jika engkau memandang ke dalam cermin, maka engkau akan melihat-Nya dengan jelas. Jadi telah dikatakan,"Aku tidak akan mampu melihat apa pun tanpa penglihatan Allah di dalamnya."

Penjajaran yang paradoks dari hal-hal yang bertentangan ini mencapai puncaknya ketika Al-Hallaj beralih tidak hanya kepada Iblis secara sendirian, tetapi juga kepada Iblis dan Fir'aun untuk model-model kehidupan spiritual.

Nilai-nilai yang mereka kemukakan adalah futuwa, suatu istilah yang mencakup semua sifat yang baik dan sopan dari pembesar Muslim, terutama kesetiaan dan dedikasi terhadap tugas. Al-Hallaj menceritakan, dari suatu pembahasan yang dimiliki, kedua figur kosmik itu berkenaan dengan nilai kemanusiaan yang baik.

Aku berdebat dengan Iblis dan Fir'aun tentang kemanusiaan. Dan Iblis berkata,"Jika aku bersujud, aku akan kehilangan kemanusiaan."

Dan Fir'aun berkata,"Jika aku percaya kepada utusan-Nya, aku akan terjatuh dari kedudukan kemanusiaan."

Dan aku berkata,"Jika aku kembali kepada pengajaranku dan perkataan-perkataanku, mak aku akan tergelincir dari jalan kemanusiaanku."

Iblis dan Fir'aun adalah sahabatku dan guruku. Iblis telah diancam dengan api neraka, namun dia tidak kembali pada pengajarannya. Sedang Fir'aun telah ditenggelamkan dalam Laut Merah, tetapi dia tidak mengakui perantara siapa pun. Dan jika aku dihukum mati, atau digantung, atau jika tangan dan kakiku dipotong, maka aku tidak akan kembali pada pengajaranku.

Dengan tidak ingin menerima tokoh-tokoh jahat ini sebagai pembimbing spiritual, Al-Baqli meremehkan pernyataan-pernyataan Al-Hallaj. Dan dalam prosesnya, menggambarkan kembali sikap schizophrenia, sikap yang suka mengasingkan diri, dari beberap Sufi yang mabuk ketuhanan ke arah Al-Hallaj.

Namun sebaliknya juga, Al-Baqli tetap senantiasa menyatakan rasa hormatnya terhadap kepandaian spiritual Al-Hallaj. Sekalipun dia tidak mampu menerima esensi kegairahan dan esensi paradoks dari doktrin Al-Hallaj.

Untuk dapat diterima bagi Al-Baqli, kumpulan-kumpulan pandangan Al-Hallaj harus dinetralkan dengan menggunakan sebuah penjelasan yang menutupi hal-hal yang bersifat paradoks ke dalam logika, yaitu keterkejutan dalam keadaan tak mabuk. Dan hal-hal yang menentang hukum ke dalam kerangka hukum.

Sesuai dengan modus operandi ini, Al-Baqli menerima atribusi futuwa oleh Al-Hallaj terhadap Iblis dan Fir-aun, serta menguranginya hanya sebagai sebuah pengakuan Al-Hallaj akan keberaniannya yang luar biasa, sekalipun dianggap sudah salah jalan.

Al-Baqli memisahkan nilai abstrak futuwa dari moralitas perbuatan-perbuatan yang nyata dari Iblis dan Fir'aun. Di mana dia hanya dapat menggolongkannya sebagai anti-agama.

Dia menyatakan, bahwa perbuatan berani apa pun sebagai suatu perbuatan yang patut dipuji, bahkan ketika dilakukan oleh seorang yang tidak beriman; sebagai bukti Al-Baqli mengutip seorang Sufi yang mengatakan,"Seorang bodoh yang murah hati adalah lebih dekat kepada Allah dari pada seorang bijak yang kikir."

Al-Baqli menunjukkan perbuatan-perbuatan sesat Iblis dan Fir'aun dalam futuwa sebagai bukti dari fantasi-fantasi yang dapat tercetuskan melalui pengalaman religius yang mengalami kegairahan.

Sebelum kejatuhanny,a Iblis telah tenggelam dalam lautan ma'rifat. Al-Baqli menjelaskan, dankegairahan yang kuat ini telah menimbulkan khayalannya yang sombong.

Karena Allah, dia telah menjadi terpedaya tentang Allah. Lautan keesaan (tauhid) telah menjerumuskan Iblis ke pantai pengasingan diri. Ketidaktahuan telah memperdaya dia kepada pengabaian perantara (yaitu Adam).

Dan dia berteriak,"Adalah syirik jika kita mengaku adanya perantara-perantara dalam pengasingan diri menuju kepadanya Yang Maha Esa!"

Dalam pikiran Al-Baqli, pengalaman iblis bukanlah tauhid yang sebenarnya melainkan suatu hasil langsung dari dosa "aku". Suatu kasus yang sama, Al-Baqli menambahkan, adalah kasus "Anal-Haqq!" ("Akulah Kebenaran Ilahiah") yang terjadi pada Al-Hallaj.

Kegairahannya telah membutakan dia terhadap diferensiasi antara dirinya dan Allah, dan dia hanya melihat "aku". Namun hal ini tidak tepat diterjemahkan sebagai sebuah ekspresi identitas metafisik.

Sebaliknya, ini analog dengan tiupan Allah ke dalam Adam saat penciptaan, yang tidak mengubah Adam ke dalam suatu inkarnasi ketuhanan, namun memberikan kemungkinan baginya untuk memancarkan Roh Allah.

Oleh karena itu, "Anal-Haqq!" hanyalah sebuah kesaksian terhadap kenyataan bahwa Al-Hallaj, seperti setiap makhluk hidup yang diciptakan, merefleksikan vestigial Dei, jejak-jejak Allah, Roh kreatif. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar