Industri

Akankah Sawit Bernasib Sama dengan Karet, Ini Penjelasan Prof Almasdi

PEKANBARU - Menjadi pertanyaan mengapa komoditas pertanian yang menjadi unggulan harganya semakin terkuras dan kemudian mati dengan sendirinya. Di Riau contohnya seperti dulu ada komoditas gambir, lalu karet, dan kini sawit secara berangsur-angsur seperti tak berharga.

Dampak dari hal tersebut biasanya sangat berimbas pada petani mandiri atau swadaya. Dimana cara berproduksinya hanya mengandalkan alam dan dibiarkan berkembang lalu diambil ketika sudah menghasilkan.

Menanggapi hal ini, Pakar Ekonomi Unuversitas Riau, Prof. Dr. Almasdi Syahza menilai ada yang salah dalam cara petani berproduksi. Seperti sawit kebanyakan bagi petani itu yang penting luasnya, bukan produksinya.

"Karena menganggap lahan itu investasi jangka panjang. Dan yang terjadi ditanamnya 10 hektare tapi tak dirawat, disuruhnya saja sawit cari makan sendiri. Karena tidak pernah dipupuk, tentu kualitasnya kurang bagus," ujarnya.

Akibatnya Pabrik Kelapa Sawit tidak mau menerima barang yang tidak jelas sehingga kemudian mengandalkan toke atau pengepul. Di sini tentu harga tergantung pada si pengepul tersebut sehingga makin tertekan.

Untuk membantu petani swadaya ini, kata Almasdi juga kecil peluangnya karena juga tidak kompak dan cenderung sendiri-sendiri. Contohnya ketika ada dibantu untuk penggantian bibit baru, banyak yang tak mau sawitnya yang sudah ada untuk ditebang.

Alasannya karena masih bisa produksi, masih bisa Rp1 juta lumayan daripada tidak makan. Kalaupun kemudian pemerintah menambah perhatian mereka meminta lebih banyak lagi. Petani mau menebang sawit untuk peremajaan tapi jaminan hidup tiga tahun dijamin jelang sawit berbuah lagi.

"Akhirnya nanti sama lah nasibnya dengan karet yang petani sawit itu lama-lama," ungkapnya. bay
 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar