Humaniora

Tragedi Setan (57) : Awas Melakukan Syirik Terselubung

Hadits menceritakan, suatu hari Hasan dihadapkan dengan kelompok penentang yang mengatakan tak ada kelogisan atau keadilan dalam perintah Allah kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Dan kemudian menghukumnya karena perintah itu.

Hasan menjawab, Allah tidak menghukumnya karena melakukan kehendak-Nya. Tapi itu karena individu telah menentang salah satu perintah Allah.

Dengan begitu dapat disimpulkan, tidak hanya Iblis, tapi juga siapa saja tidak memiliki hak untuk mencoba menduga-duga kedalaman wujud Allah dan membedakan antara kehendak-Nya dan perintah-Nya. Tantangannya adalah menerima keduanya dengan ketaatan, sekalipun semua itu di luar logika manusia.

Seseorang memperlihatkan ketaatannya dengan mentaati perintah Allah, sementara itu pada saat yang sama dia juga mengakui kehendak-Nya yang sering sukar untuk dapat dipahami.

Dalam mencakup keduanya, manusia juga harus mengakui konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi, seraya berharap Allah dengan kemurahan-Nya akan memperhatikannya dengan kasih sayang terhadap makhluk-Nya yang dihadapkan dengan kesulitan seperti itu.

Para Sufi mengganggap, konfrontasi Iblis merupakan dua pilihan yang sama-sama berbahaya dilihat dari irada dan amr Allah. Sebab ini sebagai unsur dasar utama dalam tragedi kepribadiannya.

Sekalipun, misalnya, Iblis mengakui ketercelaan pada dirinya karena tidak mematuhi perintah Allah, dia tidak dapat menolong dirinya selain melihatnya sebagai korban tragis dari keangkuhannya.

Sebuah risalah singkat yang menggabungkan analisis irada dan amr dengan suatu penyajian dramatis Iblis sebagai korban tragis, dalam gaya yang langsung, adalah kitab Taflis Iblis (Kejatuhan Iblis). Kitab ini ditulis oleh penulis spiritual abad ketigabelas, Ibnu Ghanim Al-Maqdisi.

Hanya karena karya ini secara umum tidak begitu lazim dan belum begitu diperhatikan oleh kalangan ilmuwan Islam, maka batas-batas utama argumentasinya hanya akan diberikan dengan sebuah translasi dari bagian-bagian penting monolog tentang Iblis.

Ibnu Ghanim menggambarkan seluruh kehidupan manusia sebagai sebuah siklus yang sekelilingnya adalah amr, perintah Allah, dan pusatnya adalah kehendak Allah, irada. Krisis terjadi ketika terdapat suatu konflik logika antara keduanya. Amr berkata, "Lakukan!" Sedang irada berkata,"Jangan, jangan lakukan!"

Untuk memilih salah satu dari keduanya, menaati irada sendiri dengan mengorbankan amr, atau sebaliknya, akan menyebabkan kerusakan. Mereka yang menggabungkan keduanya secara bersamaan adalah yang mendapatkan petunjuk yang baik. Mereka yang demikian hanya sedikit sekali jumlahnya.

Orang-orang akan condong kepada amr, dengan mengabaikan irada Allah, menganggap penciptaan perbuatan-perbuatan berasal dari dirinya sendiri. Mereka berkata Allah menciptakan individu sendiri-sendiri, namun Dia tidak ikut ambil bagian dalam perbuatan-perbuatan buruknya. Diri sendiri, karena itu, merupakan sumber dari perbuatan-perbuatan buruk.

Inilah syirik, Ibnu Ghanim menegaskan. Karena pendapat itu menjadikan manusia sebagai pencipta dari perbuatan-perbuatan buruk . Jika Anda percaya bahwa Allah tidak menciptakan, memutuskan, atau menghendaki dosa dan keburukan, dan jika anda percaya bahwa anda, dengan sendirinya, menghendaki, maka anda telah membawa sesuatu ke dalam eksistensi yang terpisah dari kehendak Allah.

Pada kenyataannya, kehendak anda telah mengatasi kehendak dan keadilan Allah. Kehendak anda tetap setia dan bertahan, sementara itu kehendak-Nya hilang. Perbuatan buruk macam apa yang lebih besar dari perbuatan seperti itu?

Orang-orang yang mengabaikan amr Allah dan berfokus kepada irada Allah semata, menetapkan semua perbuatan yang diciptakan, sebagai kehendak Allah yang kreatif. Mereka menyatakan terdorong untuk berbuat, takluk oleh kehendak Allah.

Perintah dan larangan yang eksternal, seperti juga kitab-kitab suci, nabi-nabi dan hukum-hukum syari'at, dianggap tidak berharga. Karena semua ini menuntut seseorang untuk membuat sebuah pilihan, suatu kemampuan yang eksistensinya mereka tolak.

Para pengikut irada ini mengutip Al-Qur'an dengan menyatakan, Allah menyelamatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan menghukum siapa saja yang Dia kehendaki. Dan mereka beranggapan, jika Allah menginginkan, Dia dapat menyebabkan semua manusia menjadi baik. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar