Regulasi

IPOC 2018, Mendag Lawan 3 Kampanye Negatif Sawit ini

NUSA DUA - Menteri Perdagangan Indonesia, Enggartiasto berbicara di  14th Indonesian Palm Oil Conference  Bali International Convention Center, 1 November 2018. Dalam kesempatan itu dia melawan, membantai, hingga menggebuk tiga kampanye negatif yang dilancarkan negara maju terhadap Sawit Indonesia dengan berbagai argumen ilmiah.

"Industri Minyak Kelapa Sawit tumbuh, tapi tantangannya juga tumbuh lebih cepat. Khususnya kampanye negatif yang datang dari negara berkembang. Ada tiga isu utama yang sering digunakan untuk menarget Kelapa Sawit," katanya.

Pertama soal isu kesehatan. Ada perhatian yang meningkat, jika ini tidak bisa dikatakan kampanye negatif, bahwa minyak kelapa sawit bisa menyebabkan kanker atau ancaman penyakit mematikan lainnya. Mendag mengatakan sudah meminta kalangan industri dan akademisi untuk membuktikannya secara ilmiah.

"Saya terdorong menyampaikan pada konfrensi terhormat ini bahwa banyak kajian yang meyakinkan bahwa konsumsi asam lemak jenuh dari kelapa sawit tidak meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah," ungkapnya.

Menurutnya jika diasumsikan bahwa lemak jenuh perlu diregulasikan, ukuran yang diambil harus tidak diskriminatif dengan menarget semua produk yang mengandung lemak jenuh apakah itu nabati maupun hewani.

Diapun mencontohkan kajian terkini dari  Professor Joseph Poore dari Universitas Oxford, yang dipublikasikan pada Mei 2018. Kajian tersebut terdiri kumpulan data besar tentang 40 ribu lahan pertanian di 119 negara dan mencakup 40 produk makanan yang dikonsumsi hampir 90 persen manusia.

Kajian menemukan bahwa "tanpa konsumsi daging dan susu, penggunaan lahan pertanian dunia bisa berkurang hingga 75 persen, seluas Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa dan Australia jika digabung, dan manusia masih bisa makan. Kajian mengklaim bahwa daging dan susu hanya menyediakan 18 persen kalori dan 37 persen protein dan mamakai mayoritas 83 persen lahan pertanian dan memproduksi 60 persen emisi rumah kaca sektor pertanian.

Professor Joseph Poore menyimpulkan bahwa diet dengan pola makan vegetarian adalah satu-satunya cara untuk mengurangi dampak terhadap bumi, tidak hanya gas rumah kaca, tapi juga pengasaman global, eutrofikasi, serta penggunaan air dan tanah.

"Poin yang saya sampaikan adalah jika kita ingin memakai isu kesehatan dan deforestasi dalah hubungannya dengan pertanian, kita harus letakkan semuanya di atas meja, saya ulangi lagi semua produk pada sektor pertanian dan peternakan mulai dari binatang termasuk perikanan dan kehutanan dan pertanian yang akan membawa dampak signifikan pada deforestasi, bukan hanya mengambil satu untuk ditargetkan," ujarnya.

Kedua soal isu deforestasi dan lingkungan. Dia malah berpandang bahwa tingginya produksi minyak kelapa sawit sangat berperan krusial untuk melestarikan lahan yang kosong yang tersedia yang gunanya adalah memenuhi permintaan dunia terhadap minyak nabati. Ini sangat bertolak belakang dengan minyak nabati lainnya dengan profuktivitas rendahnya bukannya mengurangi, tapi malah meningkatkan tekanan deforestasi seluruh dunia.

"Dan saya yakin seharusnya tidak ada penolakan bahwa memang sawit lebih ramah lingkungan dari minyak nabati lainnya, jika kita secara layak menempatkan isu terkait deforestasi," tambahnya.

Laporan yang disampaikan Uni Eropa tahun 2014 tentang Dampak Konsumsi Uni Eropa terhadap Deforestasi mengklaim bahwa secara global, tanaman utama yang berkontribusi baik langsung dan tidak langsung pada doforestasi meliputi kedelai 19 persen, jagung 11 persen, sawit 8 persen, padi 6 persen, dan tebu 5 persen.

"Saya ulangi lagi, ini adalah kajian yang Uni Eropa. Jadi tidak ada penjelasan lebih lanjut," ujarnya sambil tersenyum.

Ketiga soal isu pembangunan berkelanjutan. Untuk diketahui bahwa petani kecil mewakili 41 persen kepemilikan lahan sawit yang mencakup 4,6 juta ha di luar kira-kira 11,2 juta ha perkebunan sawit di Indonesia.

Produktivitasnya petani kecil cukup rendah yakni hanya 2-3 ton minyak sawit per ha per tahun. Pohon sawit yang tua menggunakan bibit kualitas rendah. Ini menghasilkan kurangnya pendapatan dan meningkatnya resiko pembersihan lahan dengan ilegal.

"Lebih baik membantu petani kecil meningkatkan produktivitas nya. Pemerintah sudah meluncurkan program peremajaan tahun 2017, dimulai dengan peremajaan 20 ribu ha untuk mencapai target 750.360 ha jelang 2022.

Indonesia, kata dia, secara efektif memperhatikan lingkungan kelapa sawit sama halnya dengan meningkatkan kehidupan keluarga petani sawit. Ini untuk membentuk kerangka isu kelapa sawit dalam konteks mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Perserikatan Bangsa-bangsa.

Kajian terakhir dilakukan Pusat Keamanan Makanan dan Lingkungan Stanford University dan Tim Percepatan Pengentasan Kemiskinan Nasional pada 2016 menyatakan bahwa dari tahun 2001 sampai 2010, sektor kelapa sawit di Indonesia telah mengangkat 10 juta orang keluar dari kemiskinan pada paling kurang 1,4 juta area terisolir. Jkk

 

 

?


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar