Humaniora

Paguron Kiai Madrais Larang Santri Poligami

Memahami ajaran agama Jawa Sunda sama halnya dengan menggali budaya spiritual bangsa di tahun 1840-an. Ketika itu, Pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur. Namun kegemarannya berkelana masih dilanjutkan.

Di Cigugur ia mendirikan paguron (pesantren) dan mengajar agama Islam. Sejak itu, ia dikenal dengan nama Kiai Madrais. Namanya pun tersohor pula di Pesantren Heubeul Isuk dan Ciwedus (daerah Gebang), sebagai seorang yang pandai dan berpengaruh.

Pangeran Kusuma Adiningrat dikenal pula dengan sebutan Pangeran Surya Nata. Ia kemudian memakai nama ayahnya kembali setelah Keraton Cirebon mengakui gelar kebangsawanannya. Mulailah ia dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat.

Karena mendirikan pesantren yang mulanya mengajarkan agama Islam, ia mendapat panggilan Kiai Madrais. Kiai Madrais pun sangat ulet menentang penjajahan, sebagaimana amanat leluhurnya.

Namun ia tidak melakukannya dengan kekuatan fisik. Melainkan dengan menanamkan rasa kepribadian dan persatuan bangsa. Sekalipun di pesantren mengajarkan agama Islam, namun kepada santrinya, Kiai Madrais selalu menanamkan kesadaran untuk menghargai cara dan ciri bangsa sendiri (Jawa Sunda). Ia melarang santrinya menjiplak budaya lain, terutama yang dapat merusak budaya sendiri.

Dalam tuntunannya, Kiai Madrais menitikberatkan pada kesadaran kebangsaan sebagai dasar dari kesadaran serta iman kepada Tuhan. Selain mengajar agama Islam, diurai pula tuntunan agama-agama lain. Tujuannya untuk meyakinkan dan menemukan titik persamaan dalam Ketuhanan Yang Mahaesa. Yang akan menjadi dasar dari kesadaran berperikemanusiaan dalam mewujudkan cinta kasih terhadap sesama.

Demikian pula mengenai kesadaran akan kebangsaan. Dinyatakan bahwa itu merupakan syarat mutlak terwujudnya persatuan dan keagungan suatu bangsa. Karena sangat ditonjolkan unsur-unsur budaya bangsa dalam tuntunannya, sejak itu orang-orang menyebut Kiai Madrais mendirikan Agama Jawa Sunda (AJS). Sebutan itu diterima oleh Kiai Madrais.

Tapi dinyatakannya, meskipun demikian, bukan berarti menambah jumlah agama. Tapi ingin mewujudkan kesadaran akan budaya-budaya bangsa disamping mempelajari tuntunan agama-agama itu.

Pengikut Agama Jawa Sunda pada masa Kiai Madrais diperkirakan mencapai 30.000 sampai 50.000 orang. Semuanya tersebar hampir di seluruh Jawa Barat. Di Jawa Tengah, pengikutnya dapat dijumpai di Brebes.

Selain memberi ajaran tata cara mendekatkan diri kepada Tuhan, AJS juga memiliki pantangan-pantangan. Misalnya, anggota AJS tidak boleh beristri lebih dari satu atau sebaliknya.

Menurut ajaran ini, manusia diciptakan sama (sederajat), lalaki pakuning nagri, istri bengkering nagri. Lelaki adalah paku negara, perempuan adalah pengikat negara. Perceraian diharamkan bagi para pengikut.

Metoda tuntunan Kiai Madrais di pesantrennya agak berbeda dengan pesantren lain. Terutama setelah adanya beberapa perubahan seperti khitanan tidak diwajibkan bagi para pengikutnya. Alasannya, manusia yang ada ini adalah ciptaan Tuhan yang tidak boleh diganggu bentuknya.

Juga soal penguburan jenazah diharuskan memakai peti. Cara ini dianggap sebagai penyimpangan dari agama Islam. Adanya penyimpangan ini tidak luput dari intaian pemerintah Belanda.

Apalagi setelah mengetahui Madrais masih keturunan Pangeran Gebang. Semakin memuncaklah kecurigaan Belanda terhadap gerakan Kiai Madrais. Dicurigai, di pesantren itu, Kiai Madrais tak hanya mengajar soal-soal agama dan kerohanian. Tapi juga mengobarkan semangat kebangsaan, melalui aliran Agama Jawa Sunda.

Adanya penyimpangan ajaran dengan pesantren lain ini, justru dimanfaatkan Belanda untuk menjalankan politik divide et impera. Malah, Kiai Madrais difitnah melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Fitnah ini persis seperti yang dialami Sutawijaya, Pangeran Gebang terdahulu.

Akhirnya Kiai Madrais dijebloskan ke dalam tahanan oleh Belanda dan diasingkan ke Merauke dari tahun 1901 sampai tahun 1908. Tak hanya itu, terhadap keluarga yang ditinggalkan, Belanda pun masih mengawasinya.

Tahun 1908, Kiai Madrais kembali ke Cigugur. Kiai Madrais terakhir mendirikan dan berdiam di pertapaan di Curuggoong, dekat Cisantana, Cigugur, sampai kematiannya tahun 1939.

Perjuangannya membebaskan bangsa dari cengkeraman dan penindasan kaum penjajah, tidak dengan jalan kekerasan fisik. Melainkan dengan menanamkan kesadaran kebangsaan kepada para pengikutnya melalui pemaparan budaya spiritual. eko/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar