Industri

Pasca Putusan MK 138, Industri Sawit Sulit Bergerak

Industri kelapa sawit. (Agricoputra.co)

JAKARTA - Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Prof Bungaran Saragih mengatakan, industri sawit yang menempati posisi strategis dalam perekonomian kerapkali berhadapan dengan ketidakpastian regulasi. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/2015 yang sangat krusial bagi pelaku usaha sawit.

Bungaran mengatakan, industri sawit tidak lepas dari sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum atau pengaturan hukum. Pada sektor perkebunan sawit di Indonesia, pengaturan hukum telah dituangkan dalam Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan. Namun, baru satu tahun diterbitkan muncul Judicial Review (JR) ke MK.

Dari 11 pasal dalam UU Nomor 39/2014 tentang perkebunan yang diajukan judicial review terbit keputusan MK Nomor 138/2015 yang mengabulkan 6 pasal secara bersyarat (pasal 27 ayat 3, pasal 29, pasal 30 ayat 1, pasal 42, pasal 55, dan pasal 107) dan terdapat 5 pasal yang tidak dikabulkan. Apabila diinvestarisir dari 6 pasal yang dikabulkan MK, terdapat dua pasal krusial yaitu pasal 42 dan pasal 55 dalam pengembangan sawit berkelanjutan.

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Sertifikasi PERADI, Bahrul Ilmi Yakub menjelaskan, MK menguji 11 pasal yang tertuang pada UU No.39 Tahun 2014 tentang perkebunan. Kemudian, MK membuat keputusan dua versi yaitu menolak 5 pasal dan mengabulkan 6 pasal.

Pada 6 pasal yang dikabulkan terdapat 2 pasal krusial, salah satunya pasal 42 UU No.39 Tahun 2014, Bahrul menguraikan MK menerima permohonan pemohon uji materi pasal 42 sepanjang prase hak atas tanah atau tidak dimaknai hak atas tanah dan izin perkebunan. Pasal 42 berbunyi kegiatan budidaya perkebunan dan atau pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pasal 41 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan atau izin usaha perkebunan.

“Interpretasi pasal tersebut, dulu perkebunan mendapatkan izin lokasi dan memperoleh IUP walaupun hak atas tanah belum ada (in process). Namun, MK tidak diperbolehkan yakni harus disatukan. Untuk itu, MK menghilangkan kata atau sehingga pasal itu harus dibaca tanpa kata atau," Bahrul.

Putusan MK sebenarnya tidak menggeser hak atas tanah perkebunan namun melalui proses untuk izin dan berusaha. Jika perusahaan sudah memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), maka HGU tetap berlaku. Namun, jika sedang mengurus perusahaan baru atau mau invest maka harus memiliki keduanya yaitu HGU dan Izin Usaha Perkebunan. Jadi, keputusan MK tidak mengubah status tanah tapi memang keputusan ini berimplikasi terhadap beberapa hal di antaranya investor baru maka izin harus lengkap.

Bahrul juga mengatakan esensi dari pasal 42 harus dibaca dari pasal 41. Pasal 41 mengatur jenis usaha perkebunan terdiri dari atas budidaya tanaman perkebunan, usaha pengolahan hasil perkebunan, dan usaha jasa perkebunan.

Kendati MK sudah memutuskan pasal 42 UU nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan pada JR, namun, Bahrul memiliki pandangan lain.

“Dengan keputusan ini MK keliru tidak melihat secara komprehensif karena jasa di perkebunan ada banyak di antaranya jasa angkutan hasil perkebunan, masa harus memiliki HGU. Jika budidaya perkebunan memang memerlukan lahan, tapi pengolahan hasil perkebunan (PKS) apakah perlu HGU, belum tentu,” jelasnya. Efi


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar