Mengenang Nani Wartabone

Proklamator Itu Memilih Jadi Petani

Jakarta memang sudah memproklamasikan Indonesia merdeka. Dan kemerdekaan itu masih harus ditempuh dengan jalan panjang. Sedang di Gorontalo, sekutu langsung masuk.

Belanda yang membonceng Sekutu merasa, bahwa Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi mereka untuk kembali berkuasa di Gorontalo. Mereka pun pura-pura mengundang Nani Wartabone untuk berunding.

Itu terjadi pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo. Begitu Nani Wartabone datang, Belanda langsung menawannya. Nani Wartabone kemudian dibawa ke Manado.

Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun. Tuduhannya adalah makar. Itu terjadi pada tanggal 23 Januari 1946.

Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai dan dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946.

Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Disini dia mengalami siksaan fisik dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, dia dikembalikan lagi ke Cipinang dan dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

 

Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo, negeri yang diperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang bersamanya menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru.

Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut oleh rakyat Gorontalo. Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan dan dibawa keliling kota dengan semangat patriotisme.

Rakyat kemudian membaiatnya untuk menjadi kepala pemerintahan kembali. Namun Nani Wartabone menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ada pada saat itu, yang memasukkan Gorontalo berada dalam Negara Indonesia Timur.

Menurutnya, RIS hanya pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi.

Nani Wartabone pun kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan NKRI. Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang menyatakan menolak RIS.

Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Pejabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara.

Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang, memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil. jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar