Humaniora

Atribut Belanda Haram di Kampung Mahmud

Kampung Mahmud terletak di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Lokasinya tepat di tengah lingkaran Sungai Citarum, berjarak 15 km dari Kota Bandung. Masyarakatnya masih kuat memegang tradisi karuhun.

Di dusun unik ini ada tiga makam waliyullah yang sangat dikeramatkan. Makam itu kerap dikunjungi orang untuk berburu pusaka dan kesaktian. Konon, banyak pula peristiwa yang sulit dijelaskan akal sehat terjadi di sini.

Banyak orang mengatakan, Kampung Mahmud adalah miniatur kehidupan masyarakat tempo dulu. Tengok saja bentuk rumah yang rata-rata berdinding bilik dan tidak menggunakan kaca. Semua jauh dari kehidupan modern.

Padahal, kampung ini tak jauh dari Kota Bandung yang hiruk pikuk. Selain itu, kondisi geografisnya pun masih sangat alami. Di sana-sini masih terlihat hutan bambu yang rimbun.

Secara matematis, hingga kini tak ada yang tahu berapa luas kampung ini sebenarnya. Konon, tanah Mahmud tidak bisa diukur. Menurut tokoh masyarakat Kampung Mahmud, Ajengan Amin, dulu pernah ada petugas dari sebuah perusahaan pengembang yang hendak mengukur luas wilayah Kampung Mahmud. Namun setelah berusaha mengukur, ternyata bukan hasil yang diperoleh.

“Malah orang itu hanya berputar-putar di sekeliling Sungai Citarum yang kini sudah dibendung. Sampai-sampai kepalanya menjadi panas,” tutur keturunan Eyang Sembah Dalam Haji Abdul Manaf, leluhur Kampung Mahmud ini.

Sementara jumlah penduduk, dari dulu hingga kini hanya 300 kepala keluarga, atau sekitar seribu jiwa. Keramat Kampung Mahmud begitu termasyhur karena adanya tiga makam waliyullah yang sangat dikeramatkan.

Yakni makam Eyang Sembah Dalem Haji Abdul Manaf, Eyang Agung Zaenal Arifin dan Eyang Abdullah Gedug. Ketiga tokoh ini adalah karuhun kampung Mahmud yang sangat dihormati.

Menurut cerita orang-orang disana, ketiga orang itu, terutama Sembah Dalem Abdul Manaf, adalah tokoh yang sakti dan penyebar agama Islam. Selain itu, semasa hidup mereka juga aktif menentang penjajah Belanda. Karenanya, selain mendapat gelar wali, mereka juga layak mendapat gelar pahlawan.

Ketiganya tidak dimakamkan di satu tempat. Melainkan terpisah di tiga penjuru kampung. Ini sesuai dengan pesan Eyang Abdul Manaf semasa hidup. Eyang Manaf berpesan, jika meninggal agar dimakamkan di dekat pohon beringin.

Sementara Eyang Zaenal minta dimakamkan di sebelah Utara dan Eyang Abdullah di Selatan. Permintaan itu tujuannya untuk menjaga kampung. Tak heran, bila kampung ini sering terjadi peristiwa aneh, seperti tidak pernah terkena banjir dan jarang terjadi pencurian.

Makam Eyang Abdul Manaf yang berada di bawah pohon beringin, disampingnya dibuatkan sebuah bangunan yang cukup luas. “Ini untuk menampung para peziarah yang kebanyakan selalu ingin menginap,” tutur Ajengan Amin.

Dari sekian banyak peziarah, memang tak sedikit yang menginap sampai berhari-hari. Kedatangan mereka tak sekadar berziarah semata. Tapi banyak juga yang memohon dikabulkan segala hajat. Termasuk memohon mendapatkan kesaktian-kesaktian tertentu.

Maklum, semasa hidup, ketiga tokoh itu memiliki kesaktian tingkat tinggi. Bahkan mereka pun memiliki benda pusaka yang hingga kini terus diburu orang-orang.

Bila nasib sedang bagus, tak jarang ada peziarah yang mendapatkan benda-benda pusaka itu. Bentuknya bisa berupa golok, keris kecil, tombak atau batu-batuan.

Nanang, warga Kampung Mahmud, cara mendapatkan benda pusaka itu tidak secara langsung. Biasanya melalui wujud lain. “Misalnya kita melihat benda jatuh dari atas, sebaiknya langsung diambil saja. Sebab nantinya benda itu akan berubah menjadi keris, golok atau benda-benda pusaka lainnya,” katanya.

Tentu, tidak semua orang berusaha berburu benda pusaka gaib dan kesaktian. Banyak pula peziarah yang datang khusus mengharap berkahnya saja. Seperti yang dilakukan Samsudin, warga Kiara Condong, Bandung. Ia datang bersama teman-temannya hanya sekadar ziarah. “Ini kan makam wali, mas, mudah-mudahan dari ziarah ini ada berkahnya,” ucapnya.

Menurut Ajengan Soreang, asal muasal Kampung Mahmud berawal dari seorang tokoh bernama Eyang Sembah Dalam Haji Abdul Manaf. Beliau adalah leluhur masyarakat Kampung Mahmud yang hidup pada akhir abad 15 hingga awal masuknya penjajah Belanda.

Menurut kakek berusia seabad ini, Eyang Abdul Manaf masih ada pertalian darah dengan keluarga bangsawan dari keraton Yogya. Semasa hidup, Eyang Abdul Manaf adalah sosok yang sangat dihormati, soleh, disiplin dan keras. Beliau pun dikenal memiliki kesaktian.

Ada satu hal yang paling dibenci. Yakni kehadiran penjajah Belanda dengan bala tentaranya. Sampai-sampai semua atribut yang berbau Belanda diharamkan dan tidak boleh ditiru oleh keluarga serta para pengikutnya. ko/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar