Humaniora

Ruwatan Sudamala (14-Tamat) : Berakhiir Semuanya, Kalantaka Berubah Bidadara

Hari itu terdengar suara sorak-sorai mendekati kota. Kini Kalanjaya datang menyerang. Suaranya dari luar kota seperti halilintar. Raden Dananjaya mohon diri kepada sang ibu: "Perkenankan hamba sekarang keluar!"

Setelah itu menyembahlah Raden Sudamala kepada ibunda dan kakandanya. Setelah keduanya menghormat dan menyembah ibu dan kakak-kakaknya, mereka berangkat membawa senjata perisai dan menggenggam keris.

Kata Sang Darmawangsa."Adikku Pangeran, jangan lengah. Jika sekiranya tak kuat, mundurlah cepat-cepat".

Raden Bima menyahuti. "Hati-hatilah, musuhmu kebal dan sakti".

Raden Arjuna tak ketinggalan berpesan. "Jangan sampai tidak berhati-hati, Adikku".

Raden Sakula dan Raden Sudamala kini keluar pintu diiringi tentaranya. Menggelegar suara sorak.

Ketika Kalanjaya melihat Raden Sakula dan Raden Sadewa, ia nampak gembira. "Delem, siapakah yang keluar ke medan perang itu?"

"Itu adalah Sang Sakula dan Sadewa, karena mereka berdua sama rupanya," jawab Delem.

Si Sangut menyahut. "Begitu kamu bilang Sadewa dan Sakula telah mati. Nah itu siapa. Bukankah itu Sadewa. Wahai Delem, kamulah yang mengabarkan kematian Sadewa. Tapi kini terbukti, Sadewa masih hidup, mendapat anugerah dari dewa. Suruhlah Tuanmu sekarang berhati-hati. Itulah akibatnya jika orang tidak teliti. Akibatnya akan menimpa diri sendiri. Dalam peribahasa, itu namanya enak di muka, pahit di belakang."

Kalanjaya berkata tenang. Ia tertawa ngakak. "Hah, ha, ha. Kau Sadewa, kau Sakula, mustahil kau berdua akan hidup seterusnya. Engkau anak kecil, masak aku takut kepadamu?"

Raden Sudamala menantang. "Wahai Kalanjaya tumpahkan segala senjatamu. Mengapa aku harus mati olehmu."

Raden Sadewa dan Raden Sakula bersama-sama mendekat. Mereka lalu dilepasi lembing. Tetapi lembing itu ditangkis dengan lembing yang dibawanya. Raksasa Kalanjaya didesak Raden Sadewa. Ditusuk tembus dadanya, mundur, darah pun mengucur.

Kalanjaya terperanjat. Ia berteriak-teriak mengerang. Ambruk, dan matilah Si Kalanjaya, yang disusul dengan tentaranya yang berlarian. Sungut juga lari tunggang-langgang, bangun, dan jatuh lagi. Raksasa Kalantaka melihat tentaranya lari, ia pun bertanya. "Siapa itu yang maju?"

Delem menghampiri Kalantaka. Ia menjawab, bahwa Kalanjaya sudah mati dibunuh Raden Sadewa. "Dulu kakak Kalanjaya mengatakan, ada berita yang mengabarkan Sadewa telah mati. Sekarang justru Sadewa yang membunuhnya. Saya telah mengerti, kita kurang teliti. Kalau saya mundur, niscaya saya tak mati. Tetapi saya fikir-fikir, lebih baik lekas-lekas maju saja..

Mendengar kakaknya mati, Kalantaka menjadi marah. "Jangan kau mundur wahai Sadewa. Aku lawanmu berperang."

Ia berteriak, menjerit sambil memegang lembing. Ia melepaskan lembing ke arah Raden Sudamala. "Matilah kau, Sadewa."

Lembing terlepas sudah. Untuk kedua kalinya Raden Sadewa ditusuk dengan lembing. Tetapi masih tetap berdiri di tempat. Raden Nakula bersiaga. Saat Kalantaka akan menelan tubuh Raden Nakula, ditusuklah dada raksasa ini hingga tembus. Raden Sadewa juga ikut menusukkan senjatanya. Raksasa itu jatuh menjerit.

Matilah sekarang Si Kalantaka. Tentaranya habis, lari mengikuti tentara Kalanjaya yang sudah kabur duluan. Raden Sudamala sekarang mengelilingi gelanggang perang bersama Raden Sakula. "Marilah kita kembali pulang Kanda," demikian kata Sang Sudamala.

Namun sebelum kedua satria ini beranjak pergi, tiba-tiba datang dua orang bidadara. Wajahnya ganteng, muda belia, mereka berjalan menuju Raden Sadewa. Bidadara itu sangat menarik. Sama-sama tampan dan sopan. Mereka disambut Raden Sadewa dan Raden Sakula.

"Tuan, dari manakah Tuan ini. Hamba mengucapkan selamat atas kedatangan Tuan. Beritahulah hamba, tentang maksud kedatangan tuan. Apakah tuan itu dewa atau manusia, ataukah bidadara?"

Mereka menjawab perlahan-lahan. "Kami ini bukan manusia atau dewa, tetapi bidadara, yang tadi berupa raksasa Kalanjaya dan Kalantaka. Kedatangan kami bermaksud memberitahu, bahwa sangat besar hutang kami. Kalian telah melepaskan kami, sehingga kembali berubah menjadi bidadara seperti sekarang ini.”

“Buyung Sudamala, kami adalah Citranggada dan Citrasena. Kami berdua telah kau lepaskan dari derita, setelah kami diturunkan ke Setra. Itu akibat kutuk yang kami terima dari Sang Hyang Guru.”

“Setelah sampai pada batas waktu penderitaan kami menjadi raksasa, kamu melepaskan kami. Karena itu besar hutangku kepadamu. Kami kini telah sungguh-sungguh lepas dari derita karenamu, Sudamala. Terlepas semua dari derita, teruskanlah hidup bersama-sama, wahai Pandawa. Panjang umur, selamat hidup bertahun-tahun. Pandawa tetap hidup semua. Dan Pandawa selamat sejahtera."

Juga yang menuliskan cerita ini, semoga hidup sehat, tak kena penyakit, panjang umur sampai mempunyai cicit, termasuk juga para pembaca semua.

Juga para pendengar kisah pelepasan ini, akan ikut terlepas dari derita dan noda, dan terbebas dari semua rintangan dan halangan. Demikian juga yang telah membaca cerita ini sampai tamat.

Segera setelah bicara begitu, kedua bidadara itu pergi pulang kembali ke sorga. Ditinggalkanlah Raden Sudamala. Beliau pun pulang, kembali ke istana. (jss/habis)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar