Humaniora

Ritus Batak Toba (4) : Ekaristi Diikuti Mangalahat Horbo

Hal itu terjadi dengan diberitahukannya apa alasan nenek moyang itu menyakiti anggota keluarga. Dan kalau permintaan mereka itu jelas, maka akan diberikan obat (tawar) kepada si sakit. Bisa saja itu air, daun sirih atau hal lain.

Ketiga ialah dalam hubungan dengan yang pertama, bahwa si sakit mungkin stres berat karena kesulitan hidup atau permasalahan keluarga. Bukan sesuatu yang mustahil bahwa akibat tekanan psikis mengakibatkan penyakit badan.

Hal ini jelas, misalnya dengan perginya si sakit ke beberapa dokter dan dokter tidak menemukan penyakitnya. Maka dengan menari dan trance (kesurupan), luapan tekanan psikis ini akan tersalur. Mereka sendiri tidak akan mengatakan hal ini. Tetapi sering muncul ungkapan berikut: "Memang belum sepenuhnya sembuh, tetapi sudah lumayanlah. Dia sudah bisa berjalan lebih jauh. Bicara lebih teratur.”

Dalam ritus itu terdapat juga upacara Mangalahat horbo (upacara kurban kerbau). Yang saya rekam dalam benak saya terdapat dua aktivitas ritus disini, yang bersumber pada agama Kristen dan agama nenek moyang orang Batak. Jadi sebenarnya upacara ini adalah gabungan upacara tradisional Batak-Toba dan Gereja Katolik.

Isinya ialah dibuka dengan perayaan Ekaristi (Katolik), lalu dilanjutkan dengan Mangalahat horbo (Batak-Toba). Ekaristi adalah ucapan syukur (eucharistia). Dan upacara 'Mangalahat horbo' ini asalnya adalah menyampaikan kurban (syukur?) kepada sombaon (roh nenek moyang).

Tetapi Imam gereja yang memimpin upacara itu menerangkan, bahwa kurban ini merupakan ucapan syukur bersama nenek moyang kepada Tuhan. Doanya diarahkan kepada Tuhan. Kemudian menari bersama.

Tarian berlangsung sepanjang hari. Pada waktu menari ini kerbau terikat pada borotan (lambang pohon kehidupan) di tengah lingkaran tarian. Dan pada sore hari kerbau dipotong. Besoknya daging kerbau itu dimakan bersama.

Yang menarik dalam hal ini, pertama adalah ide kurban. Kurban merupakan penghubung antara manusia dengan roh nenek moyang. Dari pihak manusia kurban ini merupakan pemberian untuk menyenangkan hati roh nenek moyang.

Dari pihak nenek moyang hal itu diterima. Dan sebagai tanda nyata berkat dari nenek moyang itu ialah kurban itu sendiri. Maka mereka yang hadir makan dari kurban itu sebagai tanda penerimaan berkat dari nenek moyang. Tentu saja penyampaian kurban ini tidak lepas dari ide keharmonisan makro dengan mikro kosmos.

Kedua ialah, bahwa secara horizontal kurban ini mempunyai aspek sosial politik. Orang yang sanggup berkurban adalah orang yang kaya, karena harus memberi makan semua orang yang hadir.

Tetapi sekaligus dengan itu, si pemberi pesta, famili dan klannya mendapat status yang lebih terhormat. Jadi ada relasi timbal balik antara kaya sebagai simbol berkat, dengan kedudukan dan penghormatan yang lebih tinggi.

Ketiga adalah sangat menonjol, bahwa kebanyakan sponsor untuk pesta ini merupakan orang kota (pangaranto) yang tinggal di luar Pulau Samosir. Lalu mengapa mereka pulang kampung untuk berpesta? Mengapa harus menghabiskan uang untuk ongkos perjalanan dari Jakarta ke Samosir misalnya? Tidakkah uang itu lebih baik dikirim untuk membangun kampung? (Dian Yuniarni/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar