Humaniora

Ritus Batak Toba (3) : Dalihan Na Tolu, Saling Tergantung

Dan harus berhati-hati kepada dongan sabutuha (teman semarga), sebab teman semarga ini merupakan jaminan keberadaan dan kelangsungan generasi dari marga.

Ini pasti juga tidak lepas dari soal pemakaian dan pembagian harta. Marga, tanah dan kampung pada prinsipnya adalah satu. Maka kalau tidak berhati-hati dalam hubungan satu marga akan terjadi perkelahian dan kerugian besar.

Tetapi satu hal yang cukup jelas dalam unsur Dalihan Na Tolu ini ialah saling ketergantungan. Dan itu memang cocok dengan cara pandang totalitas. Tiap unsur dari kesatuan harus dalam proporsi yang tepat, harmonis.

Kehidupan manusia (Dalihan Na Tolu), sebagai mikro kosmos yang dianggap cermin dari makro kosmos (Mulajadi Nabolon) yang harmonis. Hal lain ialah bahwa relasi sosial (orde) dialami sebagai hal yang religius. Ini jelas nampak dengan 'hula-hula' sebagai wakil Mulajadi Nabolon, sumber berkat.

Untuk melihat hal ini secara nyata penelitian ini menjadi sebuah observasi di kampung Uluan dekat Harapohan. Di sini kami mengikuti jalannya gondang jujungan (rite penyembuhan). Mulai dari awal sampai akhir, dari jam 17.30 sore sampai jam 9.30 pagi. Waktu itu dibuat rekaman video. Sayang hasilnya tidak begitu baik karena kurang cahaya.

Ceriteranya secara singkat demikian. Seorang pria yang sudah berumur sudah lama sakit, lebih dari 2 tahun. Penyakitnya tidak jelas. Dia tidak bisa kerja, tetapi juga tidak sama sekali tinggal di tempat tidur. Ia sudah berobat ke dokter ini dan itu, namun tidak sembuh. Lalu keluarga membawanya ke datu (imam pada ritus Batak-Toba).

Sang datu bilang, bahwa mereka harus melaksanakan gondang jujungan. Demi kesembuhan pria itu keluarga sepakat untuk melaksanakannya. Isinya gondang jujungan ini ialah persembahan kepada roh nenek-moyang, doa (tonggo-tongo), tarian (tortor) dari si sakit, keluarga dan seluruh famili, teman sekampung dan kenalan. Ini berlangsung sepanjang malam. Sesudahnya mereka akan makan bersama.

Kalau semua berjalan baik, artinya jelas apa jenis dan sebab penyakitnya, maka penyakit itu akan sembuh. Dalam kasus ini hal itu tidak terjadi karena permintaan dari roh nenek-moyang itu tidak seluruhnya lengkap. Disebut oleh datu itu misalnya, bahwa pakaiannya tidak cocok dan jeruknya terlalu kecil. Maka untuk kesempurnaan persembahan ini mereka harus mengadakan gondang jujungan sekali lagi.

Yang menarik untuk saya, dalam hal ini pertama ialah penyakit dan proses kesembuhan itu dilihat totalitas kepribadian yang bersangkutan. Penyakit dan penyembuhan tidak hanya fisik tetapi juga rohani. Tidak hanya orang yang sakit sendiri terlibat, tetapi seluruh keluarga, famili dan teman sekampung. Juga tidak jarang bahwa anggota famili dari tempat jauh harus datang.

Kedua ialah hubungan antara orang hidup dan orang mati (nenek moyang) dianggap satu. Orang Batak-Toba yakin, bahwa kalau nenek moyang ini dilupakan, maka pada gilirannya mereka akan menuntut penghormatan dengan menyakiti anggota keluarga. Maka 'gondang jujungan' ini dibuat untuk minta belas kasihan mereka dan dengan demikian si sakit akan sembuh. (Dian Yuniarni/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar