Humaniora

Menikmati Surga Suku Sawai di Teluk Saleman

Ada panorama indah di Pulau Seram. Datanglah ke teluk Saleman. Masuklah ke teluk itu untuk melihat ‘Air Belanda’. Dan saya yakin anda akan terpesona.

Kawasan ini ditinggali Suku Sawai. Mereka tinggal di kaki bukit cadas yang mirip ngarai, dengan kaki-kakinya ada di air laut. Airnya pun sangat jernih. Bawah laut bisa dilihat telanjang. Karang dan kerang, serta ikan aneka jenis dapat dipandang tanpa alat bantu.

Penduduknya juga ramah. Mereka sebagai nelayan dan beternak teripang. Di kampung suku ini air tawar tersedia. Mengalir dari ketinggian yang indah, yang disebut Air Belanda.

Itu karena di masa penjajahan dulu, orang-orang Belanda acap pesiar ke tempat ini. Mereka melihat bukit yang garang menantang, memandangi laut lepas, dan bercengkerama dengan dugong (ikan duyung) yang bertebaran di kawasan ini.

Sekarang kawasan ini sudah dijadikan area wisata. Hotel dan cottage berdiri di bibir-bibir pantai. Tapi penduduk yang nelayan itu, tetap asyik dengan kesibukannya. Melaut dan beternak teripang.

Ternak teripang itu unik. Menggaris bibir pantai pakai jaring halus. Dan benih teripang sebesar jari kelingking itu ditebar di dalamnya. Itu dibiarkan hingga besar, sampai saatnya untuk dipanen.

Yang melakukan ternak teripang ini salahsatunya adalah Suku Sawai yang mayoritas beragama Islam. Mereka menempati kawasan Pulau Seram bagian utara. Untuk sampai tempat ini harus melalui Teluk Saleman. Dan di pantai yang berhadapan dengan laut lepas itulah suku ini tinggal.

Suku Sawai adalah bagian dari Suku Laut. Sebagian saudaranya sudah tak terlacak, karena terserak di banyak pulau. Mereka merapat di pantai ini ratusan tahun lewat, dan kawin-mawin sesama suku atau lintas suku yang berdekatan.

Suku Sawai adalah nelayan. Laut yang acap bergejolak, membuat beberapa keluarga suku ini memanfaatkan lahan pantai yang ada. Dengan jaring mereka mencari pendapatan lebih. Itu untuk mensiasati jika musim ikan sedang sepi.

“Ini saya lakukan untuk menambah pendapatan, bapa. Saya juga punya tabungan di ceruk yang tidak diketahui teman, dan saya ambil kalau ikan sedang susah didapat. Juga ada tabungan sirip hiu,” katanya saat ditemui di rumah panggungnya.

Malam-malam berdialog dengannya amat menyenangkan. Juga pandangannya tentang suku, dirinya, dan anak-anaknya. Di tengah alam terisolasi itu, kita seperti diajak merenung dan introspeksi diri, bahwa hidup kadang memang tidak gampang.

Jika pagi datang, Martus, nama laki-laki itu, mengajak saya turun rumah. Di bawah rumah-rumah panggung itu perahunya ditambatkan. Dengan riang kita berkayuh, dan tak lama sudah ada di pulau seberang. Pulau kecil dengan tanaman buah-buah liar, yang sepetak pantainya dipancang jaring untuk ternak teripang.

Binatang seperti ulat laut itu seperti tidak bergerak. Tapi jika kita saban pagi datang, binatang itu semuanya sudah berada di luar jaring. Kita punguti teripang yang ada di luar itu, dikembalikan ke dalam jaring.

Jika sudah siang menjelang, maka kita naik ke daratan. Mencari jambu atau buah-buahan lain untuk minum dan pengganjal perut. “Kita pulang saja bapa, maetua (istri) sudah siapkan makan siang. Pasti bapa lapar,” katanya.

Lapar ya. Tapi kelaparan tidak. Saking asyiknya menemani Martus itu, jadwal tinggal yang seharusnya tidak sampai seminggu membengkak menjadi tiga minggu. “Nanti datang lagi bapa. Saya rindu kedatangan bapa. Saya sekeluarga merasa bahagia bapa ada disini,” katanya menangis, saat saya pamit. Djoko Su'ud Sukahar

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar