Politik

Ngeri Jika RED Diberlakukan, Sawit Bakal Hilang dari Eropa

Sejumlah rekomendasi telah dibuat oleh Lingkungan Parlemen Eropa (ENVI). Itu menyangkut kelapa sawit dan deforestasi: Jika ini tidak dilakukan perlawanan, maka tahun 2021 sawit akan hilang dari Eropa. Itu dikatakan Belvinder Sron, Wakil CEO MPOC. Pada sidangnya  tanggal 23 Oktober, ENVI memilih untuk melarang biofuel kelapa sawit dari Eropa pada tahun 2021. Ini sebagai bagian dari EU's Renewable Energy Directive (RED), yang akan kembali diterbitkan tidak lama lagi. Dalam paket yang menyakitkan negara penghasil kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia, sikap arogan dan mau menangnya sendiri itu adalah tindakan yang diskriminatif dan licik. Amandemen lain yang akan tertera dalam RED itu adalah kontribusi biofuel dan bioliquids yang dihasilkan dari minyak sawit 0% di tahun 2021. Tanaman pangan lainnya diizinkan untuk terus berlanjut sampai tahun 2030. Kontribusi dari biofuel dan bioliquids, serta dari bahan bakar biomassa yang dikonsumsi dalam transportasi jika diproduksi dari makanan atau tanaman pakan, tidak lebih dari 7% untuk konsumsi energi akhir pada transportasi jalan dan kereta api. Sedang biomassa kelapa sawit Tingkat lanjut akan ditolak. Kata Belvinder, poin utama yang harus diperhatikan adalah biofuel berbasis makanan lainnya akan dihapus pada tahun 2030. Sedang biofuel kelapa sawit akan dilarang pada tahun 2021. Lembaga Industri, Riset & Energi (ITRE) Komite memilih RED. Juga menerima rekomendasi Komite ENVI tentang larangan biofuel minyak sawit. Dan pembuat laporan, MEP Bas Eickhout dari Belanda menyebut, pihaknya sangat senang karena parlemen menuntut diakhirinya penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati. “Tidak semua biofuel memiliki dampak lingkungan yang sama, dan kebijakan UE perlu membuat perbedaan yang lebih baik antara yang baik dan yang buruk. Kita harus mencegah biofuel pangan dan pakan tanaman yang akhirnya menggusur produksi pangan dan punya dampak negatif untuk iklim. Ini bahkan melebihi emisi bahan bakar fosil,” katanya. Ini, menurut Belvinder, sangat membahayakan eksistensi kelapa sawit. Padahal dunia sedang ketakutan dengan kenaikan populasi global, yang di tahun 2050 manusia akan mencapai lebih dari 9 miliar. Kebutuhan pangan dan energi yang diasumsikan bisa dipenuhi kelapa sawit itu, realitasnya kini produsen kelapa sawit menghadapi tekanan politik yang meningkat di Uni Eropa. Mereka bertindak melawan komoditas sawit. Dan undang-undang untuk mengekang masuknya biodiesel kelapa sawit bergerak begitu cepat. Perlawanan terhadap sawit itu sebenarnya sudah tampak di akhir tahun 2006 di layar radar politik lembaga UE di Brussels. Katalis untuk pergeseran ini adalah biofuel. Uni Eropa percaya ini akan memberi jalan keluar bagi para petani yang disubsidi, mengurangi ketergantungan Uni Eropa terhadap persediaan bahan bakar fosil yang mudah menguap, dan memungkinkan Uni Eropa memenuhi target ambisiusnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 20%. Dan RED dibuat dan mulai berlaku pada tanggal 25 Juni 2009. Sejak saat itu RED telah menjadi alat utama. Alat Brussels mengatur sektor biofuel. Aturan ini menetapkan target untuk setiap negara anggota terkait penggunaan energi terbarukan. Tahun 2009, berbagai langkah telah diterapkan untuk melarang biofuel kelapa sawit. Revisi terbaru (ketiga) terhadap RED sedang berlangsung di Brussels, dan berada pada tahap proses legislatif yang sangat maju. Sekali lagi, minyak sawit menjadi sasaran. Proses kebijakan di Eropa menurutnya memang rumit dan tidak selalu transparan. Namun menurutnya, Malaysia dan negara penhasil minyak sawit lainnya harus menggunakan semua alat yang ada untuk memastikan hasil yang seimbang. “Kita seharusnya tidak menumpuk semua kemungkinan itu untuk melawan kita. Kita harus memainkan permainan, dan bermain lebih baik dari lawan kita. Kita gunakan jaringan kita untuk menilai apa yang dibutuhkan dan kapan harus melakukan balasan,” katanya. Kita harus terus mengkomunikasikan posisi yang jelas mengenai keberlanjutan dan menangani masalah dan kesalahpahaman dengan pembuat kebijakan, pengguna hilir dan media, untuk meminimalkan risiko kerusakan pada pasar tradisional kita. “Keterlibatan kami sejauh ini dengan politisi Eropa telah mengajarkan kepada kita, bahwa kita menghadapi kurangnya kesadaran akan industri kelapa sawit, tidak hanya dalam hal keberlanjutannya, namun secara keseluruhan.” Para politisi juga harus dibuat paham, bahwa ada sisi lain dari perdebatan ini. Selain strategi pengembangan sosio-ekonomi, strategi pengentasan kemiskinan di negara-negara produsen minyak kelapa sawit juga akan terpengaruh saat ekspor komoditas utama dikuasai. Malaysia juga perlu bermain untuk poin yang lebih kuat. Sebab tidak ada nilai dengan hanya berlaku defensif, membiarkan tanggapan terhadap klaim negatif kelapa sawit. Keputusan politik di Brussel tidak selalu rasional. Malah terlalu banyak kepentingan pribadi. Untuk itu, jika Malaysia tidak memberikan tekanan yang cukup untuk melindungi kepentingan sosial dan ekonominya, maka Malaysia akan membayar mahal dan mengerikan saat revisi RED mulai diberlakukan. jss  


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar