Dengan sistem Hompongon ini pula, kelompok Tumenggung Tarip, Orang Rimba yang tinggal di sisi selatan taman nasional memperoleh penghargaan berupa Kehati Award 2000.
Sebab, menurut penilaian Yayasan Kehati selaku panitia pemberian penghargaan, Hompongon sekaligus berfungsi menyelamatkan keragaman hayati dan plasma nutfah, yang berada dalam taman.
Untuk menjumpai Suku Anak Dalam, menempuh perjalanan 8 jam dari kota Jambi menuju Kota Sarolangun-Bangko yang saat ini telah mengalami pemekaran menjadi dua kabupaten, yaitu Bangko dan Merangin.
Untuk menuju ke pusat Suku Anak Rimbo ini harus menempuh perjalanan lagi selama 4 jam menggunakan mobil dan bus yang hanya ada setiap hari Rabu selama seminggu. Setelah tiba di desa Pematang Kabau, desa yang menjadi batas antara penduduk kampung setempat yang kebanyakan etnis Jawa yang bekerja sebagai penyadap karet, maka masuklah ke pemukiman Suku Anak Dalam Luar.
Suku anak Dalam ini juga mempunyai sebutan dalam dan luar. SAD yang telah mengalami persentuhan dengan masyarakat moderen disebut dengan Kubu Luar. Yang membedakan Kubu dalam dan luar ini terletak pada gaya hidup mereka.
Suku Anak Dalam luar telah memakai pakaian seperti penduduk kampung setempat. Bisa pakai Jeans, baju kaos atau rok. Begitu juga dengan peralatan memasak.
Sedangkan Kubu Dalam, kaum prianya masih memakai cawat dan para wanitanya memakai sarung tenun yang hanya menutupi bagian bawah. Sedangkan payudara dibiarkan terbuka.
Untuk menjumpai Kubu Dalam ini amat susah karena mereka masih menggunakan tradisi nomaden (berpindah tempat) atau yang mereka sebut Tradisi Melangun.
Melangun merupakan tabu kematian yang menjadikan Orang Rimba harus meninggalkan tempat mereka tinggal dan mencari tempat baru ketika terjadi kematian yang menimpa salah seorang kerabat atau anggota kelompoknya.
Tradisi melangun juga khas dan unik karena tidak ditemukan pada suku-suku lain, sehingga orang awam akan memandangnya dengan berbagai persepsi.
Tradisi melangun dimulai dengan adanya kematian pada salah seorang anggota kelompok Orang Rimba. Saat tersiar kabar kematian, mereka akan meratap, terkadang sampai histeris, terutama perempuan, dan ini menjadi puncak emosional di antara mereka.
Segera para penghulu (tetua adat) berunding untuk menentukan tempat baru yang akan dituju. Dalam waktu singkat semua peralatan hidup dikemas, sebelum menuju tempat baru yang disepakati.
Hari itu juga, sekitar 3-4 orang akan ditugaskan mengantarkan mayat ke tempat lain. Mayat akan diusung dengan tandu yang terbuat dari kain sebagai alas yang diikat pada dua batang pohon, dibawa menuju kawasan hutan yang jarang dilewati manusia.
Di sana, mereka membangun rumah panggung mungil tanpa dinding setinggi 1,5 meter, dan di dalamnya mayat dibaringkan. Mayat ini diberi kain selengkapnya, layaknya seperti sedang tidur dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa peralatan disertakan bersama mayat itu, sebagai ‘bekal’, berupa beberapa kain pilihan, sebuah kujur (sejenis tombak khas Orang Rimba), parang, alat masak seperti periuk dan sudu (sendok), serta sejumlah uang. (bersambung)