Regulasi

Ketika Kampung Melayu Merajut Ekonomi Sawit, Malapetaka yang Datang

Dialog pemuka Adat Melayu dengan Aparat Keamanan.

PEKANBARU - Empat perwakilan petani KKPA PT Peputra, Salam Paisal, Abdul Maryono, Sunarto dan Iskandar yang mewakili 524 KK yang sebelumnya sempat menempuh perjalanan 2,5 akhirnya bisa mendatangin Induk Organisasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Bahagia dan terharu begitu melihat ada gambar Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin berlatar belakang kelapa sawit di Dinding Gedung tiga lantai Kantor APKASINDO.

"Kedatangan mereka ke Kantor APKASINDO adalah tidak direncanakan, semua spontanitas," ujar Iskandar salah seorang perwakilan petani tersebut kepada Sawitplus.co di kantor DPP Apkasindo Jalan Arifin Ahmad kemarin yang disambut oleh Ketua Umum DPP APKASINDO, Ir Gulat Manurung MP C APO dan Ketua DPW APKASINDO Riau, Santa Buana, SP MM.

Dia mengatakan, sudah satu minggu ini terpaksa tidur bersama teman-temannya di tenda darurat yang sengaja dibangun di kebun kelapa sawit di kampung. Mereka berjaga-jaga bukan lantaran serangan gajah liar, tapi justru raungan alat berat suruhan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau menebangi pohon kelapa sawit yang ada di sana.

"DLHK sendiri diboncengi oleh PT Nusa Wana Raya, perusahaan pemasuk kayu akasia ke pabrik kertas di Pangkalan Kerinci, ibukota Kabupaten Pelalawan." tuturnya.

Iskandar menceritakan, ada masyarakat asli tempatan disana Mitra Plasma PT Peputra yg sudah 21 Tahun Bermitra. Plasmanya masyarakat seluas 1.189 Ha (36%) (terdiri dari 524 KK) dan Inti 2.134 Ha. Disana ada manusia yang menggantungkan hidupnya 524 KK belum lagi anak dan istrinya, mereka itu masih bernafas, Petani Sawit Indonesia, Dua hektar per KK, diantaranya milik lelaki 51 tahun tadi yang bakal dihabisi oleh alat berat NWR. Kebun kelapa sawit ini ada hasil dari menyerahkan lahan kampung mereka ke PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dalam bentuk kemitraan dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Tiap kepala keluarga di kampung itu kebagian 2 hektar. Ini berarti bakal ada 524  kepala keluarga yang kehilangan sumber penghidupannya kelak.

"Kami tak tahu mau gimana lagi pak. Sawit kami bakal ditebangi semua padahal itulah satu-satunya sumber penghidupan kami," Iskandar tak bisa lagi menahan air matanya saat menceritakan keganasan alat berat NWR, "Kami hanya bisa menangisi batang sawit yang kami rawat selama 19 tahun ditumbang hanya dalam tempo 4 menit, sirnalah sudah harapan kami. Jujur, kami bingung, Pak. Itulah makanya kami datang ke sini," kata Iskandar.

Setelah panjang lebar mendengar aduan dari ke empat perwakilan anggota KKPA PT Peputra ini, Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung memberikan tanggapan perihal kisruh kemanusiaan ini.

Pertama dia prihatin dan pilu atas kejadian ini, banyak peluang dan kesempatan duduk silaturahmi yang memungkinkan untuk mencari solusi terbaik, biarlah proses hukum berlangsung tetapi lebih mengedepankan selangkah sisi kemanusiaannya. Kedua adalah sebagai organisasi Petani Sawit terbesar di Indonesia dengan perwakilan APKASINDO yang tersebar di 22 Propinsi dan 117 Kabupaten Kota, baru kali ini kejadian seperti ini.

Ketiga adalah Petani KKPA PT Peputra ini adalah fakta bukan mitos, "Jadi saya meminta dengan segala hormat kepada semua pengamat supaya menghormati hak hidup dan berusaha dari Petani KKPA ini, sebab sebelumnya banyak anggapan bahwa KKPA PT Peputra ini adalah modus. Stop menyebar hoaks, ini ril Petani," jelas Gulat.

Sementara itu lanjut Gulat ke empat adalah bahwa penumbangan sawit ini sangat bertentangan dengan Program Presiden dalam hal pemberdayaan ekonomi masyarakat baik melalui PSR (peremajaan sawit rakyat), maupun melalui Percepatan Program Biodisel menuju B100 semua ini memerlukan pasokan TBS yang cukup besar, apalagi dengan terbitnya Inpres No 6 Tahun 2019 tentang rencana aksi nasional (RAN) jelas disebut percepatan penyelesaian semua persoalan sawit di  Indonesia.  Kelima adalah Gubernur Riau harus tampil didepan dalam permasalahan ini, mereka semua warga masyarakat Riau yang membutuhkan kebijakan seorang Gubernur.

"Kebijakan Gubernur tidak menghilangkan fakta hukum dari putusan MA," ujar Auditor ISPO ini.

Kata Gulat, dari point pertama sampai kelima tadi kami DPP dan DPW APKASINDO menghimbau kepada semua Pihak yang mempunyai wewenang perihal eksekusi ini supaya STOP penumbangan pohon sawit, STOP penanaman akasia dilokasi sawit yang baru ditumbang. Jika diteruskan dan dipaksanakan sangat berpotensi adanya bentrok yang lebih keras, dan sangat merugikan banyak pihak, termasuk Polisi, tentara, Polhut, Gakum dan aparat lainnya, karena aparat keamanan sudah hampir dua minggu ini terpaksa tidur ditenda-tenda darurat dan ini sangat melelahkan.

"Mari kita tunggu proses hukum selanjutnya pasca putusan kasasi, yaitu PK. Jangan terburu-buru, negara tidak dalam keadaan darurat, tidak ada yang urgen sehingga penumbangan sawit merupakan opsi utama. Hormati hak hidup dari Petani sawit KKPA  disana. Jika tetap dilanjutkan penumbangan, kami APKASINDO akan mengambil sikap tegas dan segera terbang ke Jakarta untuk langsung melaporkan ke Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO Jend (Purn) TNI DR. Muldoko, kami APKASINDO tidak punya kepentingan lain, kecuali nasib saudara-saudara kami Petani Sawit disana." tegas Gulat.

Tambahnya, NWR jangan berindak melebihi kapasitasnya sebagai Perusahaan, jangan show force, mereka hanya petani untuk menyambung hidup untuk makan anak istri, untuk biaya sekolah dan kesehatan, jangan menambah beban negara, "Jangan paksa kami melayangkan surat somasi ke pembeli kertas Perusahaan Saudara diluar negeri, kami akan mempertimbangkan hak hukum kami sebagai Organisasi Petani, "ujar Gulat yang juga Ketua Bravo 5 Riau.

Santa Buana, Ketua APKASINDO Riau mengajak agar segera menyudahi kekisruhan ini dengan damai, "Kita di Bumi Melayu yang penuh dengan keramahan dan saling menghormati." tutur Santa.

Sebagai Ketua DPW APKASINDO Riau, dia berharap Pihak NWR lebih mengedepankan aspek kemanusiaan, karena masyarakat disana sudah 19 tahun menggantungkan hidupnya dari sawit, pemilik lahan KKPA ini ada yang anaknya sedang kuliah, atau sekolah diluar kota, jangan gegara ini anak-anak Petani KKPA ini jadi putus kuliah dan DO dari sekolah karena orang tua mereka sudah tidak mengirim biaya lagi. "Dan saya menghimbau kepada Petani sawit anggota KKPA Peputra jangan bertindak anarkis dan melawan aparat hukum, ini akan memperburuk situasi, kedepankan aspek hukum melawan hukum," ujar Santa.

Ihwal penebangan pohon kelapa sawit oleh Dinas LHK Provinsi Riau ini bermula dari putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018, Desember 2018 yang menyebut bahwa lahan kebun kelapa sawit milik PT Peputra Supra Jaya (PSJ) seluas 3.323 hektar di Desa Gondai dirampas untuk dikembalikan ke Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR.

Tapi yang kemudian membikin aneh, dalam putusan MA itu, PSJ yang notabene bapak angkat para petani tidak disebut merambah kawasan hutan seperti yang dikatakan oleh Kepala Seksi Penegakan Hukum (Gakkum) DLHK Riau, Agus Puryoko.

"Kalau itu yang menjadi putusannya, tidak ada sanksi bahwa lahan yang dikelola oleh perusahaan itu disita untuk negara, tapi selesaikan perizinannya, bukan digusur," kata pakar hukum perhutanan, DR Sadino SH MH seperti dilansir Gatra.com kemarin.

Yang membikin Sadino menjadi curiga, di lapangan PSJ justru disebut berada di kawasan hutan, lantaran itulah ditertibkan. "Ini kayak ada yang menyetir. By Design. Kalau dikaitkan dengan kawasan hutan, tentu kita bicara lagi aturan-aturan kehutanan. Akan semakin ngawur jadinya nanti," ujar Sadino.

Celakanya, di lapangan ternyata, bukan hanya kebun PSJ yang dirampas, tapi juga kebun milik petani sekitar 1.280 hektar. Gara-gara inilah Iskandar dan ratusan petani  lainnya, stres.

Lebih jauh Sadino menyebut, kalau lahan yang dikelola oleh PSJ dan masyarakat tadi disebut kawasan hutan, kenapa baru belakangan dipersoalkan. "Kenapa enggak dari dulu ditegasi? Enggak mungkin aparat enggak tahu ada yang menanam kelapa sawit di situ," sindirnya.

Kecurigaan Sadino yang lain, direktur PSJ tidak dipidana, hanya didenda. Tapi lahannya disita. "Kalau orangnya tidak dipidana, mestinya persoalan ini dibawa ke perdata. Sebab persoalannya hanyalah sengketa hak," ujar Peneliti Perhutanan ini.

Sadino kemudian mengulik lagi soal putusan yang ada. Bahwa lahan itu disita untuk dikembalikan kepada Negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau Cq. PT Nusa Wana Raya.

"Yang menjadi pertanyaan saya, lahan ini untuk siapa sih sebenarnya? Masa ada swasta di situ? Mestinya diserahkan saja ke BUMN atau BUMD, bukan ke swasta. Itu kalau kita mengikuti alur eksekusi tadi. Sebab kalau diserahkan kepada BUMD atau BUMN, plasma tetap akan terlindungi. Ingat, masyarakat punya hak konstitusi, lho," katanya.

Pakar hukum lainnya, Samuel Hutasoit SH MH CLA, menyebut kalau persoalan antara PSJ dan NWR adalah persoalan perdata. "Ada kekeliruan judex juris di sana. Itu kan sengketa kepemilikan. Mestinya dibawa ke perdata, bukan pidana. Dan di sana ada kekeliruan yang sangat fatal. Objek sengketa dirampas untuk negara cq PT NWR. Sementara NWR adalah subjek hukum swasta. Ini sangat keliru. Sekali lagi saya tegaskan, pencantuman dirampas negara untuk dikembalikan kepada PT NWR, ini adalah perbuatan melawan hukum," tegas Samuel.

Bagi akademisi Universitas Riau, M Mardiansyah S Hut M Sc, eksekusi tadi justru sarat dengan kejanggalan. Mulai dari kesan pemaksaan penebangan pohon kelapa sawit, hingga penanaman langsung pohon akasia oleh PT. Nusa Wana Raya (NWR).

"Di putusan itu kan dikatakan bahwa PT Peputra Supra Jaya (PSJ) melakukan tindak pidana membikin kebun tanpa mengantongi Ijin Usaha Perkebunan (IUP). Lalu didenda Rp5 miliar. Kemudian lahan itu disita oleh Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR," kata Mardiansyah S Hut MSc.

'Cq PT NWR ini kata Mardiansyah sudah menjadi pertanyaan besar. Apakah yang menggugat PSJ ini PT NWR? Kalau iya, kenapa bukan ke PTUN? Sebab sengketa lahan adalah perdata. Dan kalau kemudian tidak ada yang menggugat dan kasus ini hanya bermula dari laporan Tim Penegakan Hukum (Gakkum), lalu masuk ranah pengadilan, harus dicari tahu lagi, deliknya apa? Apakah gara-gara tak punya IUP atau gara-gara di Kawasan Hutan?.

"Kalau tudingannya kawasan hutan, kenapa dalam putusan itu tidak ada disebutkan itu? Dan kalau kasus ini bukan oleh gugatan PT NWR, kenapa harus pakai cq PT NWR? Ini kan semakin aneh," katanya.

Jadi kata Mardiansyah, Dinas LHK Riau jangan terkesan ada 'main pimpong' di persoalan ini. "Kesan itu sangat kentara. Sebab dalam pemaknaan hukum, disita Negara atau dieksekusi, bukan berarti langsung ditebangi, apalagi yang ditebangi itu kebun kelapa sawit yang sedang produktifnya.

Tapi yang terjadi justru, pohon kelapa sawit itu langsung ditebangi dan ditanam akasia. "Ada apa ini? Dinas LHK harus segera memperjelas, apakah PT NWR yang menggugat PSJ atau seperti apa. Kalau NWR tidak menggugat tapi diberikan ke NWR, ini akan semakin parah akibatnya.  "Menanam akasia itu kan sudah operasional". Negara musti mengecek dulu kelengkapan administrasi PT NWR itu. Sebab itu prosedur.

"Negara musti mengecek berapa sebenarnya luas lahan PT NWR, sudah ditata batas apa belum. Lalu apakah Rencana Kerja Tahunan (RKT) nya sudah pernah disahkan oleh Negara apa belum. Saya yakin Negara belum mengesahkan RKT nya lantaran lahan ini bermasalah, sebab tidak mungkin Negara mengeluarkan RKT di lahan bermasalah, terangnya.
Sekali lagi kata Mardiansyah, eksekusi bukan berarti penebangan. "Ada nggak di putusan itu perintah pembersihan lahan? Kalau enggak ada, kok mau Negara yang membersihkan lahan itu lalu ditanami akasia oleh perusahaan?, 'ini aneh melebihi amar putusan dari Kasasi MA, "ujar Dosen Fakultas Pertanian UR ini memberi kajian akademisnya.(isT)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar