Regulasi

Direktur CPOPC: Kita Gugat Eropa di WTO

Petani sedang menaikkan TBS kelapa sawit ke atas gerobak

JAKARTA-Direktur Direktur Council of palm oil Producing Countries (CPOPC) atau Dewan Negara Negara Produsen Kelapa sawit,  Mahendra Siregar mengatakan pemerintah RI dan negara-negara produsen sawit lainnya siap menggugat regulasi Uni Eropa tersebut di World Trade Organization (WTO), segera sesudah diterapkan.

"Kita sudah sampaikan pernyataannya, tapi sampai saat ini belum dijawab. Dan untuk dibawa ke Badan Sengketa [Dispute Settlement Body] WTO, harus menunggu kebijakan itu berlaku, bukan sebelumnya," kata Mahendra. 
Sebelumnya, Komisi Uni Eropa pada Rabu, 13 Maret yang lalu memutuskan untuk menghapus secara bertahap penggunaan bahan bakar nabati/BBN (biofuel) berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga 2030. 

Dalam rancangan terbaru regulasi Renewable Energy Directives II (RED II) tersebut, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran. 

Hasil kajian Komisi Eropa menyatakan bahwa 45% dari ekspansi produksi CPO sejak tahun 2008 telah berujung pada kehancuran hutan, lahan gambut (peatlands) dan lahan basah (wetlands) serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus-menerus.

Adapun kajian tersebut menyebutkan bahwa hanya 8% dari ekspansi produksi minyak kedelai (soybean oil) dan 1% dari minyak rapeseed dan bunga matahari (sunflower) yang berkontribusi pada kerusakan yang sama, seperti dilansir dari Reuters. 

Seperti diketahui, ketiga komoditas ini merupakan pesaing sawit dalam pasar minyak nabati global.

Komisi Eropa sendiri menetapkan angka 10% sebagai batas untuk menentukan minyak nabati mana yang lebih berbahaya bagi lingkungan, dalam kriteria indirect land use change/ILUC yang disebut negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia sebagai kriteria yang tidak diakui secara universal.

Dalam rancangan regulasi Komisi Eropa tersebut, disebutkan bahwa produsen sawit yang dapat membuktikan bahwa mereka telah berhasil meningkatkan produktivitasnya melalui intensifikasi lahan dapat dikecualikan dari aturan baru ini.

Selain itu, produsen sawit yang dapat menunjukkan bahwa lahan mereka sudah mencukupi kebutuhan untuk bahan baku energi, pangan maupun pakan serta tidak memerlukan perluasan ke lahan non-pertanian juga akan mendapatkan pengecualian.

Satu dari beberapa perubahan dalam proposal terbaru Komisi Eropa adalah ketentuan mengenai petani rakyat (smallholders) yang didefinisikan sebagai petani yang tidak terikat dengan perusahaan manapun, mengelola lahannya sendiri dengan luas lahan maksimum 2 hektar.

Pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa serta Parlemen Eropa diberikan waktu dua bulan ke depan untuk mengadopsi atau memveto rancangan aturan tersebut.

Sebagai informasi, Indonesia, Malaysia dan Kolombia yang tergabung dalam Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) telah meminta klarifikasi dan transparansi kepada Uni Eropa terkait kebijakan RED II dan metode ILUC yang akan diterapkan, karena dianggap menerapkan hambatan perdagangan non-tarif (technical barriers to trade).(rdh/cnbc)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar