Regulasi

Permentan No. 5/2019 Rugikan Perkebunan Sawit

Perkebunan sawit

JAKARTA-Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Susanto menilai, penerbitan Permentan No. 5/2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian berdampak negatif bagi keberlanjutan usaha sawit.

Beleid tersebut merupakan bagian dari petunjuk pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 138/2015 yang merevisi ulang UU No. 39/2014 tentang Perkebunan khususnya Pasal 42.

Dalam regulasi yang diundangkan pada 17 Januari 2019 itu, pada Bab III Pasal 9, ayat (1) disebutkan bahwa pelaku usaha yang ingin melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan harus sanggup menyerahkan tujuh dokumen di muka. 

Ketujuh dokumen itu adalah izin lokasi, izin lingkungan, rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan kabupaten/ kota dari bupati/wali kota. 

Menurut Susanto,  terbitnya Permentan No. 5/2019 mengharusnya pelaku usaha harus tunduk atas persyaratan tersebut. 

Susanto menjelaskan, untuk mengurus HGU harus ada bukti penguasaan lahan dan sebagainya yang bisa memakan waktu 3 tahun lebih. Padahal, selama in mengurus HGU bisa bertahap sepanjang ada IUP walaupun izin lokasi sudah habis masa berlakunya. Sekarang dengan terbitnya Permentan tersebut, aturan main berubah 180 derajat, karena pelaku usaha harus mengurus HGU dulu baru IUP bisa berlaku. 

Padahal, tanpa IUP, pelaku usaha tidak boleh melakukan kegiatan operasional, sedangkan tanpa kegiatan operasional pelaku usaha belum tentu bisa melakukan ganti rugi dan menguasai lahan.

"Tanpa bukti ganti rugi atau penguasaan lahan, bagaimana kami mau urus HGU? Sekarang tanpa HGU tidak ada IUP,"   kata Kamis, 7 Februari 2019

Permentan ini akan berdampak pada masyarakat sekitar lahan yang telah memberikan izin. Pasalnya, masyarakat telah menyerahkan lahan, tetapi kebun tidak juga dibangun dan alokasi untuk plasma tidak dibagikan akibat tidak adanya HGU dan IUP. (tps)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar