Lingkungan

Aziz: PT BBSI Caplok Tanah Masyarakat, Aparat dan Perangkat Pemerintahan Diam

AKBP Dasmin Ginting Kapolres Inhu saat bertemu masyarakat Desa Talang Tujuh Buah Tangga Kecamatan Rakit Kulim pasca bentrokan dengan sekurity PT BBSI.

INHU- Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Talang Tujuh Buah Tangga Kecamatan Rakit Kulim Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dengan PT Bukit Betabuh Sei Indah (BBSI) adalah konflik yang panjang dan berlarut-larut.

Bahkan yang terjadi Rabu, 19 Desember yang lalu adalah bagian dari jalan panjang konflik ini berlangsung. Dalam peristiwa ini beberapa orang terluka. Sengketa lahan ini sudah terjadi sejak tahun 2006 silam. Tak terhitung kebun kelapa sawit milik masyarakat yang dirusak sekurity dan orang-orang suruhan PT BBSI.

"Sudah tidak terhitung lagi jumlah kerugian masyarakat ulah oknum karyawan BBSI itu. Belum lagi kerugian moril akibat teror dan intimidasi. Padahal masyarakat jelas-jelas mengantongi legalitas berupa SKT dan SKGR yang diteken oleh Kepala Desa Talang Tujuh Buah Tangga dan Camat Rakit Kulim. Hingga tahun 2005, kawasan yang diklaim PT BBSI ini sudah jauh hari dikelola masyarakat. Sedangan perusahaan akasia ini baru mendapat izin tahun 2007,” cerita Abdul Aziz, seorang aktivis yang selama ini terus mendampingi masyarakat kepada SawitPlus.co, Kamis, 20 Desember malam.

Aziz mengaku tidak habis pikir kenapa sejumlah oknum pemerintah mulai dari desa hingga yang ada di pemerintah kabupaten, justru terkesan berpihak kepada perusahaan. Sementara hingga saat ini perusahaan tidak pernah sama sekali menunjukkan legalitasnya yang sah.

"Bahkan di sebuah pertemuan di kantor Camat Rakit Kulim Agustus tahun lalu, oknum karyawan PT BBSI bernama Hasri dengan lantang mengatakan kalau surat-surat tanah masyarakat itu, illegal. Kenapa pejabat yang hadir dalam pertemuan itu malah diam? Ada apa ini? Apa dasar Hasri mengatakan seperti itu,"  katanya.

Aziz kemudian cerita ikhwal masuknya BBSI ke Desa Talang Tujuh Buah Tangga. Bahwa tahun 2002 Bupati Indragiri Hulu (Inhu) mengeluarkan izin nomor 331 tahun 2002 tanggal 06 November 2002 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) atas nama PT Bukit Betabuh Sei Indah (BBSI) seluas 13.450 hektar di wilayah Kecamatan Peranap dan Kecamatan Kelayang.

"Tapi izin ini menjadi tidak sah lantaran pada pasal 42 Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur. Peraturan Pemerintah itu diundangkan di Jakarta tanggal 08 Juni 2002. Tegasnya, Bupati Inhu mengeluarkan izin persis setelah lima bulan PP 34 tahun 2002 berlaku," katanya.
 
Lalu kata Aziz, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan RI, melalui suratnya Nomor 300/VIPHT/2003 tanggal 1 Mei 2003, menyebutkan untuk lokasi tanaman dalam RKT HTI?IUPHHK pada Hutan Tanaman sudah harus mengacu PP 34 tahun 2002 tadi, yaitu dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang?alang dan atau semak belukar. Namun berdasarkan data dari Dinas kehutanan Provinsi Riau tahun 2004, potensi kayu yang ada di lahan yang diberikan izin oleh Bupati Inhu kepada BBSI adalah rata-rata 91,12 M3 per hektar.
 
"Dari fakta pada poin 2 di atas, selayaknya perusahaan diganjar Pasal 41 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,? (lima ratus juta rupiah). Kemudian Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Tetapi apa yang kemudian terjadi," Aziz bertanya.

Pada 23 Febaruari 2007 kata Aziz, Menteri Kehutanan menerbitkan SK.67/MENHUT-II/2007 tentang pembaharuan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman seluas 13.420 hektar untuk PT. BBSI.

"Itu baru SK penunjukan lho. Belum SK penetapan. Sebab sebelum mendapat SK penetapan, perusahaan musti memenuhi sejumlah persyaratan. Paling lambat setahun setelah dapat SK, perusahaan sudah harus melakukan tata batas. Tapi ini tidak pernah dilakukan oleh perusahaan. Buktinya, sampai hari ini perusahaan tidak pernah bisa menunjukkan lembaran Tim Tata Batas, Berita Acara Tata Batas, Patok Resmi tata batas dan pamplet SK penetapan. SK yang dikeluarkan oleh menteri kehutanan setelah dilakukan tata batas. Celakanya, walau sejumlah aturan itu tidak dijalankan dan bahkan sejak awal perusahaan ini sudah bermasalah, tapi tetap saja bisa bebas menghabisi hutan alam dan menggantinya dengan akasia hingga dua kali daur ulang tanam. Ada apa ini? Saya berharap pemerintah fair lah. Jangan hanya bisa menyalahkan masyarakat. Kalau perusahaan mengatakan bahwa kengototan perusahaan menggarap lahan itu hanya demi memenuhi kewajiban kepada pemerintah, kewajiban yang mana," pungkasnya.

Aziz kemudian meminta semua pihak, khususnya aparat pemerintah dan penegak hukum, jernih menengok substansi persoalan yang ada. Sebab konflik antara perusahaan dengan masyarakat, bukan hanya antara masyarakat Talang Tujuh Buah Tangga dah PT BBSI. "Banyak konflik yang terjadi di Riau ini. Rata-rata antara masyarakat dengan anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) atau anak perusahaan Sinar Mas," rinci Aziz.

"Kalau saja dari awal kehutanan tegas dan mengawal setiap pelaksanaan perizinan yang ada, konflik tidak akan pernah terjadi. Sebab, pada setiap SK yang diberikan pemerintah kepada perusahaan, selalu ada perintah untuk melakukan tata batas. Gunanya untuk memisahkan antara hak perusahaan dan hak masyarakat. Namun penataan batas itu sangat jarang terjadi. Jangankan pada lahan konsesi, pada kawasan milik negara saja belum ada penataan batas. Sementara di pasal 15 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan melalui tahapan: Penunjukan, Penataan batas, Pemetaan, Penetapan. Kalau saja pemerintah patuh dengan pasal itu, konflik tidak akan pernah terjadi," ujar Aziz.(dan)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar