Humaniora

Tragedi Setan (53) : Berusaha Memahami Iradah dan Amr Allah

Al-Ghazali menguraikan sebuah dongeng yang menceritakan tentang penciptaan dua hamba Allah. Salah satu adalah yang gagah dan dikasihi Allah dengan nama Jibril. Yang satunya adalah yang buruk rupa dan sangat dibenci dengan nama Iblis.

Allah menugaskan Jibril untuk menyampaikan wahyu, sedangkan terhadap Iblis, Dia menugaskannya untuk menggoda umat manusia. Ini seakan-akan seperti seorang raja yang memerlukan seseorang untuk menangkupkan cangkir untuknya dan membersihkan kotoran dari istananya.

Tentu saja dia akan menggunakan hambanya yang buruk rupa untuk pekerjaan pembersihan, sementara Dia akan memberikan kehormatan untuk membawakan cangkir kepada hambanya yang sangat dikasihinya. Pesan moral dari dongeng ini, merupakan penjelasan Al-Ghazali. "Tidaklah dibenarkan bagi anda untuk mengatakan, 'Ini adalah perbuatanku. Kita disalahkan jika menyatakan perbuatan-perbuatan itu adalah perbuatan kita sendiri. Allahlah yang sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan kepada individu-individu, perbuatan yang baik atau pun yang buruk.

Al-Ghazali mengakui, kita manusia, karena hanya mampu bersentuhan dengan dunia yang kelihatan, menyatakan tindakan-tindakan, keputusan dan berbagai kekuatan yang lainnya sebagai perbuatan kita sendiri. Ini mengingatkan kembali masa ketika kita masih kanak-kanak dan pergi menonton pegelaran wayang. Kita percaya bahwa wayang-wayang bergerak dengan sendirinya karena kita tidak menyadari adanya sang dalang. Kita masih anak-anak ketika mencoba untuk memahami kekuasaan Allah sebagaimana yang diwujudkan dalam kehendak-Nya (iradah) dan perintah-Nya (amr).

Ketegangan antara kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia telah dialami pada seluruh tingkatan kehidupan agama Islam, tidak hanya di antara para Sufi. Dalam cara yang sama, pikiran manusia, terutama sebagaimana yang diwujudkan sendiri dalam ra'y, pandangan atau pendapat pribadi, dan qiyas, analogi, telah diatur sebagai suatu cara ketentuan religius yang berada jauh di bawah firman Allah yang diwahyukan, sehingga dalam alam perbuatan manusia, kemampuan manusia untuk berbuat sebagai sebuah agenda yang bebas akan terlihat tidak berarti apabila dibandingkan dengan kekuasaan determinatif Kemahakuasaan Allah. Karena Allah "menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya"(Al-Qur'an 16:93).

Tidak berarti bahwa perspektif tentang kehendak bebas dan takdir ini tanpa kontroversi. Dalam abad-abad pembentukan Islam, sekelompok Muslim, di antara mereka adalah kelompok Mu'tazilah. Mereka berpegangan pada tanggungjawab moral manusia secara mutlak akan perbuatan-perbuatannya. Mereka dikenal sebagai kelompok Qodariyah, penganut-penganut kebebasan kehendak yang radikal.

Kelompok Mu'tazilah percaya, bahwa tanggungjawab manusia merupakan suatu konsekuensi dari pembelaannya terhadap pengadilan Allah, karena pengadilan itu akan menjadikan manusia, laki-laki atau perempuan, dikenai hukuman atau diberikan ganjaran pahala atas perbuatan-perbuatannya yang dilakukan sebagai hasil dari pilihan moral yang bebas.

Pada saat yang sama ketika mereka menyoroti pengadilan Allah, kelompok Mu'tazilah juga menegaskan bahwa Allah dengan sendirinya tidak terlibat dalam keburukan yang Dia salahkan. Agaknya, kejahatan terlihat sebagai hasil yang tidak menguntungkan dari kemampuan manusia untuk memilih. Dalam pemikiran-pemikiran Qadariyah, lebih percaya kepada kemahakuasaan Allah yang mutlak akan mengharuskan kita untuk menganggap, tanggungjawab bagi semua perbuatan baik atau buruk berasal dari Allah sendiri.

Namun demikian, suatu desakan terhadap kemampuan manusia untuk menentukan kehidupan moralnya melalui pilihan bebas memunculkan jebakan-jebakan dalam dirinya sendiri. Terutama jika menciptakan penekanan, bahwa manusia, melalui kekuatannya, mempengaruhi keselamatannya. Hal ini berhubungan dengan syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam kejadian-kejadian tertentu, sekalipun kejadian itu merupakan takdirnya sendiri.

Sebagaimana yang diperlihatkan oleh W. Montgomery Watt, sampai pertengahan abad kesembilan, pendulum telah berayun ke arah penekanan pada Kemahukuasaan Allah dari pada kebebasan manusia. Kelihatannya sampai pada awal tahun 750, pengaruh Qadariyah terbatas hanya di daerah Basra dan wilayah-wilayah sekitarnya. (jss/bersambung)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar