Kolom

Boikot Sawit Takkan Menghasilkan Apa-Apa (2)

Dalam sebuah upaya mempromosikan produk bebas kelapa sawitnya untuk kemeriahan natal yang panjang, Supermarket Inggris, Iceland baru-baru mencoba dengan cara mengkampanyekan iklan Greenpeace. 

Dengan Kartun Disneyland yang menampilkan seekor bayi Orangutan di kamar tidur seorang anak Inggris. Dia menyampaikan dirinya terganggu oleh Coklat dan Sampo yang mengandung minyak kelapa sawit, tanaman yang telah menghancurkan rumah Orangutan.

Clearcast, Badan yang menguji iklan berdasarkan aturan penyiaran Inggris, menganggap iklan di atas terlalu politis. Beberapa media mengecam keputusan itu dengan The Guardian yang menyebutkan bahwa kampanye Iceland tersebut berani dan penting. Lainnya menyebut tak punya hati melarang iklan yang berani dan indah tersebut.

Pada tahun ini, Iceland menjadi pengecer pertama di Inggris yang mengumumkan akan menghindari penggunaan minyak kelapa sawit pada beberapa produk dagangnya. Tapi seperti melarang kantong plastik dan sedotan bambu, aktivitas perusahaan barang-barang konsumsi ini mengabaikan realitas yang kompleks pada produksi minyak kelapa sawit dan konsekuensi lingkungannya.

Selama beberapa tahun aktivis lingkungan dan Hak Asazi Manusia secara keras telah menginvestigasi dan mengkritisi industri kelapa sawit. Banyak ahli yang memang menganggap minyak sawit sebagai satu ancaman terbesar terhadap keanekaragaman tropis. 

Sebagian besar aktivis barat sekarang telah sukses memposisikan isu sawit sebagai tanaman yang di pikiran konsumen sama kategorinya dengan tembakau atau minyak fosil.

Indonesia dan Malaysia adalah penghasil terbesar dunia untuk penggunaan minyak goreng, hampir 90 persen dari persediaan dunia. Minyak sawit secara luas digunakan untuk produk-produk rumah tangga dari kosmetik hingga makanan. Selain juga digunakan dalam biodiesel. 

Pada Juni, Uni Eropa mengumumkan telah mengeluarkan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel tahun 2030 yang membuat marah pemerintah di Hakarta dan Kuala Lumpur. Padahal kampanye perlawanan terhadap minyak sawit itu mengingkari fakta yang tak terbantahkan bahwa dunia membutuhkan minyak goreng dan di antara banyak minyak nabati, sawit bukanlah salah satu yang jelek.

Bahkan menurut aktivis Palm Oil Investigation "Sawit adalah tanaman yang produktif yang mampu menghasilkan lebih banyak minyak dengan lahan yang lebih sedikit dari minyak nabati lainnya". Sawit yang menghasilkan sekitar 35 persen minyak nabati dunia lahan yang digunakannya kurang dari 10 persen semua tanaman minyak nabati.

Untuk Eropa, sangat mudah mengkritik negara-negara berkembang Asia Tenggara menghancurkan hutan hujan untuk lahan pertanian, tapi lupa bahwa hutan di Eropa juga dihancurkan beberapa abad lalu untuk alasan yang sama juga. Tidak hanya mengeksploitasi sumber daya yang ada di Inggris dan Benua Eropa, tapi juga menjajah Asia dan Afrika untuk mengeruk alamnya.

Daripada berupaya untuk menghapuskan tanaman sawit, aktivis barat seharusnya fokus saja untuk menghambat deforestasi lebih lanjut, merehabilitasi habitat yang hancur, dan memastikan petani miskin bisa mengoptimalkan produktivitas lahannya yang telah dialihkan jadi perkebunan. 

Ini berarti menolak apa yang dikatakan Greenpeace sebagai "minyak kotor" dan meragukan komitmen minyak sawit untuk akuntabel dan transparan terhadap Deforestasi.

Lebih penting lagi, konsumen di Asia seperti nya tidak terpengaruh secara luas dari mana asal minyak sawit ini. Indonesia, India, dan Cina adalah konsumen minyak sawit terbesar. Pada Mei lalu, Perdana Menteri Cina, Li Keqiang menandatangani perjanjian baru untuk meningkatkan ekspor minyak sawit Indonesia menjadi 500 ribu ton per tahun. Jakarta bulan ini juga mengumumkan telah meratifikasi perjanjian dengan Pakistan, dimana negara Asia Selatan itu memenuhi 70 persen kebutuhan CPO dari Indonesia.

Kajian terbaru dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan bahwa melarang minyak sawit sama dengan meningkatkan minyak yang haus lahan seperti kedelai. Tidak seperti kampanye Iceland, Laporan LSM ini menawarkan kebijakan solusi yang realistis untuk meningkatkan tata kelola lingkungan dan pencegahan dampak bahaya terhadap keanekaragaman hayati.

"Minyak Sawit mengurangi kekayaan ragam spesies di Asia Tenggara karena memakan petakan hutan tropis," kata laporan lead author and Chair of IUCN’s Oil Palm Task Force, Erik Meijaard.

Akan tetapi jika itu diganti dengan lebih luas area tanaman kedelai, bunga matahari, ataupun rapeseed, spesies dan ekosistim alam bisa lebih menderita. Jadi untuk menghentikan kehancuran, kita harus bekerjasama untuk kelapa sawit yang bebas dari deforestasi.

Dengan pentingnya minyak sawit bagi ekonomi Indonesia dan Malaysia, pemerintahnya harus muncul mengambil isu keberlanjutan secara teeus menerus dan serius. Pada September, Presiden Joko Widodo telah menandatangani moratorium izin baru untuk perkebunan kelapa sawit yang berakhir tiga tahun. Produsen Malaysia juga menekankan bahwa sawit harus memproduksi buah dengan lahan yang sedikit. Artinya hanya sedikit diperlukan untuk pembersihan lahan dan deforestasi.

"Ketika kamu memperhatikan dampak musibah minyak kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati dari perspektif global, tidak akan ada solusi yang mudah," Director General IUCN, Inger Andersen pada Juni lalu."Setengah populasi dunia menggunakan minyak sawit untuk makanan dan kalau kita melarang dan memboikotnya, akan ada minyak lain yang haus lahan akan mengambil tempatnya,".

Minyak Kelapa Sawit harus ada dan kita butuh segera aksi bersama untuk membuat produksi nya lebih berkelanjutan. Meyakinkan tiga pihak, pemerintah, produsen, dan rantai suplai agar menghormati komitmen berkelanjutannya. bay  

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar