Lingkungan

Ini Eksotisme Batik dengan Warna Alami

Deretan batik-batik bercorak aneka warna dan bentuk berjajar rapi. Warna merah suji, kuning kunyit menyihir imajinasi. Warna meriah itu dihasilkan dari alam, mempertahankan buah karya nenek moyang.

Dalam sejarah fashion, batik mengalami pasang surut. Seni tradisional serapan dari Negeri Tiongkok ini telah mengalami asimilasi budaya yang menghasilkan beragam corak unik Nusantara. Batik telah berkembang di pesisir hingga pedalaman muara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB hingga Papua. Secara alamiah, seniman-seniman Nusantara berkreasi turun-temurun mengeksplorasi pola dan zat pewarna.

Proses pewarnaan alam sudah dikenal dari zaman nenek moyang terdahulu. Pewarnaan dengan zat pewarna alami relatif butuh waktu proses pewarnaan lebih lama. Untuk pencelupan saja diperlukan waktu 15-30 kali dengan warna yang monoton antara biru, coklat dan merah.

Kendati demikian Batik sangat diminati dan menjadi penghasil rupiah yang tidak sedikit. Tak heran pemerintah Hindia Belanda sejak 22 April 1828 mewajibkan penanaman pohon Bixa orrellana (sumba) dan Indigofera tinctoria (nila) di sepanjang tepi jalan utama Pulau Jawa.

Namun pewarna alami itu kini hampir tak digunakan lagi. Ditemukannya zat pewarna sintetis oleh William Henry Perkin pada tahun 1856 dengan sukses melengserkan posisi zat pewarna alami. Selain lebih praktis, corak warna sintetis pun lebih beragam.

Sejak itu, penjajahan terhadap industri batik terjadi. Para pembatik kecanduan memakai pewarna buatan. Industri batik Indonesia baru sadar ketika Pemerintah Belanda dan Jerman sejak 1 Agustus 1996 secara resmi melarang masuknya produk pakaian termasuk batik yang memakai zat warna sintesis.

Pembatik kaget dan bingung di saat pemerintah mulai ngos-ngosan diterjang krisis politik dan ekonomi. Pembatik bingung mencari alternatif karena pewarna alami sudah terlalu terpinggirkan.

Adalah Gerakan Warna Alami Indonesia (Warlami) yang menggagas untuk kembali memakai warna alami. Anastasia Inne Adhie, salah satu penggagas Gerakan Warna Alam Indonesia (Warlami) mengatakan, sampai sekarang masih banyak pembatik yang memakai pewarna sintetis. Pertama karena kurang pengetahuan. Kedua karena pemerintah juga cenderung diam. ?

"Kami awalnya kebingungan, ini kenapa sih? Pewarnaan alam kok ngga hidup? Itu kan peninggalan nenek moyang. Ternyata karena banyak orang yang putus asa. Yang hanya karena ketakutan tersendiri saja, ketakutan mahal, harus dibeli dimana bahan pewarnaan alami ini, karena memang tidak mudah,"?ungkapnya.

Sudah hampir 200 pengrajin batik yang menggabungkan diri sebagai anggota Gerakan Warna Alam Indonesia (Warlami). Paling banyak anggota dari pengrajin mandiri Jawa Timur. Pengrajin yang masih menggunakan pewarnaan kimia, menurut Anastasia Inne Adhie sedang ber-euforia batik dengan cara yang salah.

"Limbah dari pewarnaan batik dengan warna kimia menyebabkan sungai menjadi hitam, dengan begitu mereka memang jadi kaya-tetapi sungai rusak. Dan memanfaatkan ketidak-tahuan masyarakat dengan bilang ini warnanya bagus. Padahal itu semua mencemari lingkungan," ungkapnya.

Dengan sistem zat pewarna alami, investasi teknologi tak lebih dari Rp 200 juta itu lebih praktis, stabil, variatif serta pencelupan cukup dua sampai tiga kali dengan ketahanan luntur masuk kategori ISO 6330. Karena alami, limbah celupan batik dengan pewarnaan alam ini pun ramah terhadap lingkungan.

"Andai saja lebih banyak lagi orang yang tanggap dan peduli konflik masyarakat di sekitar sentra batik bakal terselesaikan karena tidak ada lagi sumur atau sungai yang berganti warna dan beracun karena tercemar logam berat," ujar Anastasia Inne Adhie.

Kendala yang dialami Gerakan Warna Alami Indonesia (Warlami) yakni terbatas bahan alami yang tak sebanding dengan pertumbuhan pengrajin batik.

"Makanya kami ingin sekali mengajak dan mengembangkan teknologi di bidang pertanian untuk pewarnaan alam yang aware terhadap masalah di sekitar sentra batik. Pengusahanya sudah kaya-kaya, tetapi pengrajin tetap miskin misalnya. batik sendiri saat ini banyak masuk dari impor. Keinginan kita ini bukan hanya juragannya yang menjadi kaya, tapi pengrajinnya justru merasakan hasil dari kerja keras mereka," papar Anastasia lagi.

Dia menambahkan, dari sisi pendapatan pun, para pembatik akan mendapatkan penawaran harga yang lebih baik karena produsen luar negeri seiring tren back to nature sangat menghargai produk batik pewarna alami. Harga batik warna alam relatif lebih mahal dari batik warna sintetis.

Ini lebih disebabkan oleh upah tenaga kerja yang lebih mahal. Untuk batik tulis dengan warna alami bisa Anda dapatkan mulai dari tiga ratus lima puluh ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah, tergantung kualitas, detail design batik serta berapa kali butuh pengulangan proses pewarnaan. "Untuk jenis batik cap lebih murah. Warlami termasuk reasonable dalam pemberian harga, untuk batik cap mulai dari Rp 250,000," jelasnya.

Cara membedakan batik dengan warna alami dan warna sintetis dapat dilakukan dengan pengamatan pandangan mata. Dengan warna alam belum bisa menghasilkan warna tosca dan ungu. Beda warna alam dan kimia, dapat dirasakan setelah memandangi dan perhatikan seksama.

Mungkin sepintas tidak terlalu kelihatan, tapi lama kelamaan, batik yang dengan warna alami akan memberikan kesan teduh di mata. Bukan terang-atau softnya warna tapi kesan teduh yang diberikan warna alam.

"Meskipun teman-teman pengrajin di daerah sedang melakukan pencobaan pencobaan pengembangan warna dari bahan alam ini. Ada kayu yang menghasilkan warna ungu, tetapi belum bisa kami ekspose karena bisa jadi dihasilkan spesifik di daerah itu. Ini yang juga memberi keunikan tersendiri. Jadi satu jenis tanaman pewarna alam bisa saja hanya di suatu daerah. Untuk di Indonesia bisa menghasilkan ribuan jenis tanaman pewarnaan alam. perbedaannya dan masih sulit dirumuskan. Makanya besar sekali harapan kami, untuk ahli pertanian yang hatinya tergerak untuk menyelamatkan lingkungan Indonesia. Selamatkan Indonesia dari limbah pewarnaan tekstil dengan pewarna kimia," harapnya.

Pewarnaan alami yang digunakan warlami antara lain menggunakan Akasia (Acacia Acacia catecu), Getah Gambir (Uncaria Gambir), : Jambal (Pelthophorum ferruginum), Jambu Biji (Psidium guajava Linn), Jambu Mete (Anacardium accidentale Linn), Jati (Tectona grandia), Jelawe (Terminal belerica), Jengkol (Archidendron jiringa (Jack) I. Nielsen), Jirak (Sympolocos), Katapang (Terminal catappa), Kayu Malam (Aporosa frutescens), Kembang Telang (Cliitoria Ternatea), Kesumba (Bixa Orellana), Kunyit (Curcuma Longa), Mahoni (Swietenia mahagoni (Linn.) Jacq), Mangga (Mngaifera Indica), Manggis (Garcinia mangostana), Mengkudu (Morinda citrifolia), Nangka (Artocarpus heterophylla Lamk.).

Juga Pinang (Areca cathecu Linn), Plasa (Butea monosperma), Putri Malu (Mallotus Philippinensis), Ranggitan (Rubia Cordiflora), Secang (Caesalpinia sappan), Soga (Peltophorum pterocarpum), Srigading (Nyctanthes arbor-tristis L), Talok, Kersen (Muntingia calabura L.), Tanaman Noja (Peristhrope bivalvis), Tarum, Nilo, Tom (Indigofera Tinctoria), Tea (Camelia sinensis), Tegeran (Cudraina javanesis), Tingi (Cerips candolleana). Puspi


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar