Humaniora

Jangkrik Genggong Itu Minta Ikan Kakap Merah

Tujuh sumur tua dikeramatkan. Dipercaya mempunyai kekuatan gaib dan ada makhluk penunggunya. Nama ketujuh sumur itu disesuaikan dengan nama-nama penguasanya.

Setiap tahun, masyarakat setempat melakukan upacara bersih desa dengan sesaji ikan kakap merah raksasa yang harus dibawa oleh perjaka berpakaian adat Jawa. Gending pengiringnya jangkrik genggong dengan tarian minoagung.

Dukuh Tawang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirejo, Pacitan, Jawa Timur memang tergolong aneh bila dibandingkan dengan desa lainnya. Di dukuh itu terdapat tujuh sumur yang dipercaya, masing-masing dikuasai makhluk halus. Di tempat ini setiap tahun dilakukan gelar sesaji.

Kabupaten Pacitan merupakan wilayah paling utara propinsi Jatim. Daerahnya kurang bersahabat, panas, berbatu dan berkapur. Saat musim kemarau adalah saat paling susah untuk penduduk, sebab sumber air banyak yang kering.

Terlepas dari keadaan alam dan struktur tanahnya yang berbatu, penduduk Pacitan khususnya yang bermukim di dua desa, masing-masing Desa Tawang dan Sidomulyo Kecamatan Ngadirejo percaya akan mitos sumber air yang dikuasai tujuh mahluk halus.

Ketujuh lelembut itu mempunyai nama masing-masing yakni Sumur Wungu dikuasai Tumenggung Mangkunegoro, sumur Nglandang oleh Kethok Jenggot dan Rogo Bahu. Sumur Turen dijaga Wonocaki dan sumur Watugupit dipandegani Bumiyah, sedangkan penguasa sumur Pinggir adalah Gambirsari. Sumur Seda Rawa dikuasai Cikrak dan penguasa sumur Gedhe yang menjadi andalan penduduk karena sumber airnya yang paling besar adalah Gadhung Mlati.

Para penguasa sumber air itu tidak melarang penduduk untuk menimba air setiap hari untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tetapi sebagai tebusannya, penguasa sumber air itu tiap tahun meminta pada penduduk supaya menggelar upacara bersih desa dan membuat sesaji sebagai bentuk ucapan terima kasih padanya, karena telah diberi rezeki berupa air penghidupan.

Kisahnya, pada suatu ketika, mendadak penguasa sumur Gedhe Gadung Melati menangis terisak-isak. Hal ini membuat sang kakak Rogo Bahu kebingungan. Gadung Melati meminta pada upacara bersih desa supaya ditanggapkan tayub.

Tanpa pikir panjang, Rogo Bahu masuk ke raga salah satu warga setempat yakni Kyai Karno Niti. Karena dimasuki Rogo Bahu (ketempelan), Kyai Karno Niti pun ngomongnya menjadi neglantur.

Dalam ketidaksadarannya itu, dia juga nomong (memerintah) penduduk supaya menggelar tari tayub saat upacara bersih desa, dengan gendingnya Jangkrik Genggong. Sejak itulah sampai sekarang penduduk setempat melakukan perintah itu tanpa berani melanggarnya.

Jangkrik Genggong

Sebenarnya upacara bersih desa itu milik para nelayan dan dilaksanakan setiap bulan Sela (Jawa). Masyarakat menyebut upacara Jangkrik Genggong. Itu karena awal dari upacara itu ada tarian tayub dengan gendingnya Jangkrik Genggong.

Prosesi upacara, duplikat ikan kakap merah raksasa dibawa ke balai desa lalu diteruskan ke pesanggrahan di pesisir pantai. Pembawa ikan itu adalah para perjaka dan wajib mengenakan pakaian adat Jawa.

Sebagai pengiringnya adalah tarian Minoagung yang dilanjutkan tarian tayub. Kesemuanya itu dipersembahkan pada mahluk halus penguasa sumber air yang jumlahnya tujuh itu.

Selain tarian, upacara harus disertai dengan gending-gending yang judulnya sama persis dengan nama-nama ketujuh penguasa sumber air itu. Misal, mahluk halus Mangkunegoro gendingnya harus surung dayung. Gending itu menggambarkan nelayan yang tengah mendayung sampannya di laut bebas.

Sedangkan Kethok Jenggot gendingnya sambiran dan Rogo Bahu gendingnya berjudul ijo-ijo dan seterusnya. ed/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar