Kolom

Apa yang Saya Lakukan Tiap Memasuki Kabin Kematian?

Mochamad Husni, Praktisi Komunikasi sebuah Perusahaan Swasta

Apa mau dikata, tiket pesawat rute CGK-DPS-CGK dari maskapai yang baru saja mengalami kecelakaan di perairan Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018, sudah kami pesan jauh hari sebelum kecelakaan  naas yang dialami maskapai penerbangan itu terjadi. Bukan hanya atas nama saya, booking-an tiket itu maskapai yang sama itu untuk seluruh keluarga, orang-orang tercinta yang harus saya lindungi: istri dan tiga orang anak.


Membatalkan agenda jalan-jalan usai tugas kantor di Bali, tentu akan mengecewakan mereka yang sudah membayangkan serunya keliling di Pulau Dewata selama Sabtu dan Minggu, 3-4 November 2018. Sementara, mengatur ulang jadwal penerbangan --setidaknya mengganti maskapai yang lebih dipercaya soal keselamatan-- sangat potensial menguras perhatian yang cukup besar, mengingat tanggung jawab sebagai media handling event  tingkat internasional sudah di depan mata.

Saya putuskan, penerbangan saya bersama keluarga dari Denpasar ke Jakarta menggunakan maskapai itu, Minggu 4 November 2018, pukul 23.50 WITA on schedule, tidak saya ubah. Di titik ini, benar apa yang dikatakan pendiri maskapai tersebut saat diwawancara majalah Angkasa edisi Desember 2013 dan menjadi viral paska kecelakaan rute Jakarta – Pangkal Pinang. “Maskapai kami memang yang terburuk di dunia, tetapi Anda tidak punya pilihan,” katanya. Miris. Justru terkesan arogan dan tak mau introspeksi.

Dalam hati, saya tetap menimbang-nimbang. Sebagai sebuah institusi bisnis, dengan segala cerita buruk yang saya dengar tentu maskapai tersebut kali ini akan ekstra hati-hati menerbangkan pesawat yang saya tumpangi bersama keluarga dan ratusan penumpang lainnya. Kalaupun pengawasannya lemah, manajemennya buruk, bahkan abai dengan safety, mereka pasti rela mengeluarkan cost lebih besar ketimbang dihujat publik andai di rentang waktu seminggu kembali mengalami musibah yang mengorbankan nyawa penumpangnya. 

Pemerintah tentu tak akan sanggup juga menolak desakan agar ijin perusahaan ini dicabut bila pesawat yang diterbangkan maskapai ini terlalu sering mengalami kecelakaan.

Kendati begitu, toh saya tetap dalam kebimbangan. Deg-degan juga. Bahkan saya tetap resah sepanjang menapaki tangga pesawat. Berat rasanya. Seakan masuk ke kabin kematian. Sesekali saya melihat anak-anak dan istri yang berjalan di depan, menoleh ke badan pesawat berwarna putih dengan tulisan merah dan lambang Singa. 

Terbayang-bayang rekaman di kepala saya liputan di media massa kala menunjukkan kepingan pesawat dari maskapai ini saat mengalami kecelakaan beberapa waktu sebelumnya. Baik saat gagal mendarat dan jatuh di laut dekat bandara di Denpasar, 13 April 2013,  atau ketika keluar jalur dan tergelincir di Solo, 30 November 2004, maupun kecelakaan-kecelakaan lainnya yang hingga kasus terakhir sudah terjadi sebanyak 20 kali.

Apalagi, ada bermacam pengalaman naik maskapai ini yang diceritakan teman-teman saya dalam penerbangan dari daerahnya menuju Bali. Semua bikin cemas. Teman yang satu cerita bahwa kursi penerbangannya dari Pekanbaru tidak terlalu penuh, mungkin banyak penumpang yang batal terbang.

Teman lain mengungkapkan pengalaman uniknya. Katanya, baru kali ini naik dari Kualanamu, Medan, pramugarinya menyarankan penumpang berdo’a. Saran itu diulangi pula ketika penumpang dari Medan transit di Bandung dan melanjutkan penerbangan ke Bali. Ada apa ini?

Cerita seorang rekan kerja sekantor saya lain lagi. Saat mau mobile check in, dia baru tahu bahwa jadwal penerbangannya diubah tanpa sepengetahuannya. Istri saya sendiri pun mengalami hal serupa. Sehari sebelum terbang dari Jakarta menuju Denpasar untuk menyusul saya, saya dapat email dari maskapai tersebut bahwa jadwal penerbangan yang saya pesan itu di-rescheduled. Tidak hanya sekali, total sampai tiga kali, semula Jum’at, 2 November 2018 pukul 20.45 WIB, menjadi Sabtu, 3 November 2018 pukul 05.00 WIB.

Aish,… begitu banyak dan cepatnya perubahan. Apa benar banyak penumpang takut lalu memilih mundur, sehingga demi efisiensi manajemen buru-buru mengatur jadwal penerbangan?

Entahlah, yang jelas istri saya tetap terbang dan alhamdulillah mendarat di bandara Ngurah Rai, Bali dengan selamat. Berkah keselamatan itu menyertai kami sekeluarga juga sepanjang perjalanan sambil tadabbur alam mengagumi kuasa Tuhan di Pantai Pandawa, Istana Tampak Siring dan pemandian air suci di Pura Tirtha Empul, merasakan kesejukan hawa di Kintamani sambil memandangi kegagahan Gunung Batur dan Danau Batur dengan latar Gunung Agung yang baru saja meletus, lanjut agro wisata proses produksi Kopi Luwak dan mengagumi pesona rice teras di Tegalalang yang hijau nan tertata rapi. 

Alhamdulillah, keselamatan itu juga menjadi berkah kami sekeluarga hingga mendarat dan turun dari kabin pesawat di Jakarta, setelah menempuh penerbangan selama 1 jam 45 menit dari Denpasar. Selama penerbangan sangat tenang, kami tertidur pulas dan saat landing pun begitu nyaman. 

Bukan sok berani atau menantang kematian. Ketika anak kedua saya tampak resah saat memonitor evakuasi dan pencarian pesawat dan korban yang mengalami kecelakaan, saya katakan bahwa insya Allah perjalanan kita akan lancar dan selamat. Tenang saja, tidak perlu takut yang berlebihan. “Yang pasti, kita harus berdo’a. Minta selamat kepada Allah,” kata saya.

Ia cukup menerima, juga adik-kakak serta istri saya. Sebagai muslim, begitulah keyakinan kami. Rasa takut, bagi muslim, memang Allah sebarkan agar kita sebagai hamba-NYA rindu dan selalu mendekat kepada DIA, Tuhan semesta alam. Supaya kita senantiasa jauh dari sifat arogan, sombong, selalu merasa kecil, dan siap-siap bahwa segala kemungkinan bisa saja Allah lakukan. Kun fayakun. Jadi, maka jadilah. Allah maha berkuasa.

Dalam sujud-sujud saat sholat, saya juga lebih berlama-lama. Memohon Allah benar-benar mengabulkan harapan dan permintaan kami.

Di luar do’a yang terasa lebih khusyuk membayangkan kematian yang begitu mengancam, sebelum memulai perjalanan saya sempatkan bersedekah. Arham, anak saya yang sempat resah itu saya ajak ke masjid dekat rumah. “Pegang, nanti kasih teman ayah yang jadi pengurus masjid,” kata saya sambil menyerahkan amplop putih. Selain akan mendapat pahala, sedekah juga kami yakini bisa menolak bencana.

Sisanya, kami pasrahkan kepada Allah. Enjoy. Saya nikmati hidup sesuai jalan dan ajaran-NYA. Perbaiki diri terus-menerus, karena kita tak tahu kapan kematian itu datang. Kabin kematian itu bukan hanya ruang pesawat, melainkan semua lorong waktu yang kita lewati. Bahkan di saat hendak beranjak tidur.

Rasanya, benar sekali apa yang dikatakan Prof. Dr. H. Abdul Malik Amrullah. Tokoh dengan nama pena “Buya Hamka” itu melontarkan kalimat yang sarat pesan terkait dengan naik pesawat dan kematian.

Kata ulama sekaligus sastrawan kelahiran Agam, Sumatera Barat itu, “Lebih banyak orang menghadapi kematian di atas tempat tidur dari pada orang yang mati di atas pesawat. Tetapi, kenapa lebih banyak orang yang takut mati ketika menaiki pesawat dari pada orang yang takut menaiki tempat tidur?”

Saya pun makin meyakini bahwa yang seharusnya kita takutkan bukanlah kematian. Sebab itu rahasia Tuhan. Kematian memang senantiasa mengintai, dan kita diminta untuk selalu waspada. Satu hal yang sangat saya khawatirkan adalah: kamu, teman-teman saya, orang tua, keluarga dan siapapun orang di dunia ini yang pernah kecewa serta menyimpan dendam pada saya tapi tetap tidak rela memaafkan kekhilafan saya.

Maka, jika saat itu datang, bukakanlah seluas-luasnya pintu maaf. Iringi dengan do’a. Semoga tempat berikutnya adalah syurga. Aamiin. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar