Humaniora

Benteng Surasowan, Saksi Bisu Kejayaan Kerajaan Banten

Benteng reruntuhan Kerajaan Banten

Benteng Surasowan, Banten, merupakan peninggalan sejarah bernilai tinggi. Disinilah kemasyhuran dan kehancuran kerajaan Banten terjadi. Kini, benteng ini menjadi saksi hidup. Pada waktu-waktu tertentu, kerap terdengar derap langkah pasukan Kerajaan. Bahkan ada pula yang pernah mencium bau amis darah. Ini kisah mistis seputar benteng bersejarah yang dikenal angker itu?

Kompleks keraton bernilai histori ini sekarang sudah hancur. Yang masih nampak cuma sisa-sisa tembok benteng yang mengelilingi. Antara lain berupa pondasi dan dinding yang lantak. Nampak pula sisa-sisa bangunan pemandian dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambangnya. Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 - 2 meter, dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama di bagian selatan dan timur, tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali.

Kompleks keraton Surasowan ini berbentuk empat persegi panjang dengan luas 3 ha. Pintu masuk yang merupakan gerbangnya terletak di sisi utara, menghadap alun-alun. Berdasarkan peta lama, di sisi timur ada pula sebuah pintu. Dan keempat sudut benteng terdapat tembok tebal yang menjorok keluar. Di bagian sisi dalam tembok benteng pada keempat sudut tersebut, terlihat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang ada dalam benteng.

Dalam peta lama tersebut tergambar pula bila kompleks ini dulunya dikeliling parit. Konon itu merupakan pertahanan. Tapi sekarang parit ini sudah hilang. Yang masih ada cuma yang terletak di sebelah barat.

Nilai Histori

Di sinilah dulu berdiri pusat kota Surasowan yang ramai. Sebuah ibukota kerajaan dengan keraton yang masa itu disebut Gedong Kedaton Pakuan. Ia dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Sementara tembok benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan batu karang itu, dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf. Secara keseluruhan, pembangunan itu atas petunjuk dan perintah Sunan Gunung Jati pada puteranya, yakni Maulana Hasanuddin.

Hasanuddin inilah yang kemudian menjadi raja Banten pertama. Kedatangan penguasa Islam ke daerah Banten tersebut, terjadi pada awal abad 15. Sebelumnya, daerah Wahanten Girang (Banten Girang, red) berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda. Penguasa kerajaan Sunda terakhirnya adalah Prabu Pucuk Umun, putera Prabu Seda. Di sinilah kemasyhuran Banten dan kehancurannya terjadi. Keraton Surasowan dengan bentengnya, menjadi tolok ukur kemapaman kerajaan Banten, yang bercorak Islam.

Masa keemasan Banten terjadi sewaktu Sultan ke-6, yakni Sultan Abdul Fatah yang tersohor dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta, tahun 1651-1692. Namun, pada masanya pula, kerajaan Banten runtuh. Hal itu dikarenakan masuknya koloni Belanda, yang mengobrak abrik keutuhan kerajaan. Banten sebagai kerajaan yang kokoh ketika itu, sulit ditembus Belanda. Hingga akhirnya, jurus devide et impera dijadikan senjata ampuh oleh mereka. Tak heran bila muncul tipu daya dan pertumpahan darah. Akhirnya, Banten pun jatuh.

Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, keberhasilan pembangunan nampak di segala bidang. Hubungan internasional semakin luas. Kekuatan angkatan perang yang teradiri dari altileri, infanteri, dan armada angkatan laut, sangat padu. Ditambah kemampuan mengatur siasat perang yang sangat baik.

Dalam bidang ekonomi, perdagangan sangat maju dan meningkat. Bandar Banten banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari luar negeri. Bahkan Banten ketika itu sanggup mengirim delegasi (misi diplomatik) ke London (April 1682) dan diterima oleh raja Charles II. Misi diplomatik dipimpin oleh Jaya Sedana dan Nayawipraja.

Jeritan Malam

Sayang, masa keemasan itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan masuknya Belanda di bumi Nusantara, begitu pula kehancuran Banten terjadi. Intrik politik, tipu daya dan perang saudara mewarnai. Ujungnya, pertumpahan darah tak terelakkan. Ratusan mayat prajurit bergelimpangan. Bau amis darah merebak ke mana-mana. Puing-puing benteng Surasowan ini adalah saksinya. Betapa dahsyat prahara yang mengguncang Banten. Melihat runtuhan Benteng ini, prahara itu seakan nampak di depan mata. Siapa pun bisa melihatnya. Benteng Surasowan seakan menyampaikan pesan-pesan itu.

Dan memang, meski berupa reruntuhan, benteng ini kerap didatangi banyak orang. Namun anehnya, jarang ada yang berani berlama-lama di sekitar benteng ketika malam tiba. Saat mentari jatuh di ufuk barat, rata-rata pengunjung seperti menyingkir.

Bagi masyarakat di sana, kondisi itu tidak asing. Konon, pada saat-saat tertentu, sering terdengar suara-suara aneh. Misalnya derap langkah kaki prajurit kerajaan yang tengah berbaris. Bahkan kerap pula terdengar suara jeritan yang menyeramkan.

Suara itu melengking membelah keheningan malam. Banyak orang bertanya-tanya, apa yang pernah terjadi di sini. Dan benarkah prahara itu terjadi karena pesan Sunan Gunung Jati, tentang larangan memindahkan Watu Gilang yang terletak di depan keraton dilanggar? eko/jss

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar