Kolom

Prof Yanto : Dosa Sawit Cuma Satu, Tidak Tumbuh di Eropa

Pakar satu ini terkenal sebagai ilmuan yang paling terbuka. Dia berani dan tanpa segan bicara tentang realitas hutan, perkebunan kelapa sawit, aturan yang sesukanya menerjang sejarah (aturan baru muncul ketika hutan atau lahan yang tidak terurus dibudidayakan rakyat), juga campur-tangan asing yang ikut-ikutan mengatur negeri ini.

Sawitplus.co yang mengikuti paparannya di Seminar Nasional Kelapa Sawit yang digagas Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan mengajak bicara di beberapa tempat berusaha mengambil simpul-simpul gagasan dan jalan pikiran Prof DR. IR Yanto Santosa DEA untuk dirangkai. Ini adalah hasil rangkumannya :

Sawitplus.co : Assalamualaikum, Prof. Dari banyak kalangan Anda ini dianggap sangat berani dalam memampang fakta di forum apa saja. Benarkah begitu?

Prof. Yanto : Waalaikumsalam. Saya bukan pemberani, tetapi saya bicara berdasar hasil penelitian dan kajian yang saya lakukan. Saya sejak kecil sudah diajari untuk itu oleh orangtua saya.

Sebagai anak dusun di Sumedang, Jawa Barat, orangtua saya mengajari saya untuk bicara jujur. Orangtua saya juga mendidik saya untuk meminta pada Allah agar segala yang kita inginkan berhasil, termasuk menjadi manusia yang berpendidikan.

Saya masih ingat petuah beliau, katanya, kalau ingin berhasil meraih apa saja yang diinginkan, salatlah tahajut empatpuluh kali. Itu saya lakukan, eh keterusan sampai sekarang.

Berkat ajaran itu sampai sekarang saya belum pernah meninggalkan salat tahajut. Baik ketika saya di Prancis bertahun—tahun, apalagi saat di dalam negeri. Ini sudah mendarah daging. Rasanya ada yang hilang jika salat itu belum saya tunaikan.

Sawitplus.co : Dari paparan Profesor di Seminar Nasional Kelapa Sawit tadi terkesan, bahwa sinyalemen kebohongan tentang data dan informasi tentang sawit yang dibawa oleh Non-Governement (NGO) serta asing adalah benar.

Prof. Yanto : Ya memang benar. Mulai dari soal deforestasi sampai tudingan melanggar hak asasi manusia, semuanya adalah bohong. Lihat hasil penelitian saya dan beberapa ahli yang melakukan itu (tabel data di bawah, red), semuanya adalah rekaan. Semuanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Sawitplus.co : Kenapa kebohongan itu dibiarkan, dan kenapa kebohongan itu dipercaya sebagai kebenaran?

Prof. Yanto : Bukan dibiarkan, saya selalu melawan, dan saya selalu mengajak untuk melawan. Namun persoalannya, ini yang berkembang di luar negeri, selalu didengungkan oleh NGO dan negara-negara lain, utamanya Uni Eropa, bahwa tanaman kelapa sawit itu merusak.

Sawit dituding sebagai penyebab deforestasi, emisi, korupsi, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), itu setelah dituding penyebab segala penyakit. Intinya, dosa sawit itu satu, tanaman ini tidak bisa tumbuh di Eropa, makanya selalu dibenci, dituding macam-macam.

Saking banyaknya tudingan-tudingan yang tidak benar itu diarahkan pada kelapa sawit, maka saya katakan, ini negara kita, negara ini berdaulat, kenapa asing ikut campur tangan mengaturnya. Kan terserah kita mau tanam apa saja.

Ketika RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) janji bisa memuluskan pasar di Eropa dengan harga premium ternyata tidak menjadi kenyataan, malah RSPO lebih memihak buyers, negara pembeli minyak sawit, saya bilang Indonesia keluar dari RSPO. Kita cari pasar lain di luar Eropa, bisa China, India, Pakistan, dan negara-negara lain.

Sawitplus.co : Tudingan sawit merusak lingkungan rasanya yang paling banyak didramatisasi. Sekarang soal sustainability (keberlanjutan) yang intens disoal. Belum rampung itu, mereka sudah menyiapkan amunisi baru yang disebut ILUC, tracebility, rantai pasok. Sebenarnya seperti apa hasil penelitian dan kajian di lapangan Prof?

Prof. Yanto : Tadi sudah baca kan data-data hasil penelitian dan kajian di lapangan? Tidak ada yang menyimpang dan merusak. Semuanya baik-baik saja, bahkan untuk satwa, ada pertambahan jumlah, mereka berkembang dengan baik.

Memang, yang namanya perubahan, pasti ada yang berubah, misalnya spesies tanaman tertentu ada yang tidak berkembang. Tapi di zaman jumlah manusia semakin banyak dan hanya bumi yang bisa ditempati, adalah muskil menjaga lingkungan tetap seperti dulu.

Lingkungan harus mensejahterakan rakyatnya. Ingat UUD 45 pasal 33 yang menyebut, tanah, air dan udara dikuasai negara, untuk kemakmuran rakyat. Dan itu yang harus dilakukan negara. Mensejahterakan rakyatnya.

Petani sawit, kalau diukur rata-rata, hidupnya sejahtera. Kehidupannya lebih makmur ketimbang petani yang menanam komoditas lain. Kalau ditingkatkan SDM-nya, maka produktifitas petani sawit itu bisa lebih tinggi lagi, dan tambah makmur lagi.

Tapi di luar negeri, gambaran petani sawit yang sejahtera itu justru sebaliknya. Sawit selalu digambarkan merusak, mempekerjakan anak-anak, dan membuat petani jadi obyek penderita. Kampanye hitam seperti ini yang berkembang di luar negeri sana. Tujuannya, memang, untuk merusak komoditas sawit agar tidak menjadi pesaing produk minyak nabati mereka.

Sawitplus.co : Kesejahteraan petani sawit itu memang tampak nyata. Jika kita datang ke desa-desa petani sawit, bangunan rumah dan mobil yang mereka punya membenarkan itu. Tapi bagaimana dengan konflik lahan, aturan soal gambut, tanah masuk kawasan hutan, dan sebagainya.

Prof. Yanto : Hutan produksi itu untuk budi daya, kelayakan usaha. Konflik lahan terbanyak karena lokasi terindikasi hutan, sisi lain batasan kawasan hutan itu tidak jelas, percetakan lahan tidak jelas, BPN untuk melihat itu pakai peta.

Saya selalu mengatakan, kalau kawasan itu sudah ditanami, sudah dipanen sawitnya, lepaskan itu dari kawasan hutan. Kalau kemudian ini dilarang dan tanamannya dicabuti, itu namanya mencabut rezeki orang. Ini tidak boleh dibiarkan.

Begitu juga soal lahan gambut. Ini seluruh lahan gambut itu sudah ditanami, tiba-tiba aturan datang dan mereka akan diusir. Ini tidak benar. Rakyat selama ini sudah hidup dari lahan itu.

Bayangkan ya, ada sekitar 17 juta hektar, sekitar 3,4 juta harus diidentifikasi. Peruangan pelepasan diterjemahkan skemanya, kemudian reforma agraria maksimal 5 ha. Terus yang kita kuasai itu apakah hanya segitu? Banyak warga punya lahan di atas 7 hektar. Ini harus diperhatikan.

Kalau pemerintah mengeluarkan maklumat, maka lahan-lahan itu akan dimiliki orang tak bertanggung jawab. Plasma bakal berpindah ke orang-orang yang tidak berhak. Ini yang membuat miskin rakyat, sebab masih banyak orang-orang maling negeri ini.

Sawitplus.co : Nah rakyat belum punya keberanian seperti itu, juga belum punya kekuatan untuk melawan semua itu. Bagaimana ini Prof?

Prof Yanto : Para petani harus punya lembaga untuk bargaining, ya seperti Apkasindo ini. Itu untuk memperjuangkan hak petani terhadap lahan dan nasibnya. Tanpa itu, maka petani hanya akan dimain-mainkan, tanpa bisa melakukan koreksi terhadap kebijakan yang ditujukan padanya, apalagi melakukan perlawanan.

Sawitplus.co : Satu lagi ini Prof, soal perlindungan satwa. Seakan kemanusiaan sekarang ini sudah kalah dengan ‘kebinatangan’. Artinya, bisa saja sebuah desa tergusur kalau di desa itu ada gajah, macan atau orangutan.

Prof Yanto : Saya sudah bilang pada Presiden Jokowi, kalau soal orangutan itu tempatnya ada di kebun binatang. Bukan di pemukinan penduduk atau lahan milik penduduk. Jangan binatang menyebabkan manusia yang ada di situ terusir. Diusir hanya gara-gara ada hewan di wilayahnya.

Omongan saya yang terang-terangan ini yang membuat nama saya jelek di mata LSM. Tapi memang harus begitu, ini manusia kok diusir hewan. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar