Kolom

Serat Suluk Gatolotjo (10) : Bukit Kemukus, Halalnya Selingkuh

Kepercayaan lingga yoni yang disimbolkan sebagai punden berundak itu tak lapuk di telan waktu. Dari masa ke masa keyakinan itu tetap terjaga. Bahkan Candi Borobudur yang dibangun abad delapan wangsa Syailendra pun sudah ‘menunjukkan’ kekuatan kepercayaan itu.

Bentuk candi ini ‘menyimpang’ jauh dari masternya, sebuah kuil di Sri Lanka. Candi Borobudur bentuknya tetap punden berundak. Padahal saat itu lagi jaya-jayanya agama Buddha yang dibawa etnis Sri Lanka itu.

Dan di era globalisasi sekarang ini, ternyata kepercayaan itu masih bersemi. Di Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, ngalab berkah melalui ritus lingga-yoni itu tetap berjalan. Pasangan tidak saling kenal dan tidak terikat perkawinan rela ‘menyatukan’ lingga dan yoninya demi berharap keinginan terkabulkan.

Kepercayaan memang tidak masuk akal. Tapi siapa mampu merasionalisasi keyakinan jika itu yang diyakini, termasuk ‘ritus free-sex’ Kemukus?

Dari mitos pelarian Pangeran Samudera dan Dewi Ontrowulan, mantan kekasih yang dinikahi ayahnya, seorang raja dari Demak, tradisi ‘menghalalkan’ hubungan intim di luar nikah itu terus berlangsung ratusan tahun. Itu karena pasangan ini kabur dan terbunuh bersama saat sedang bersenggama.

Kisah asmara mereka memang mirip-mirip kisah Panji. Pangeran Samudera yang ganteng, terpana asmara dengan Dewi Ontrowulan yang jelita. Mereka berkasih mesra. Namun sang ayah, Raja Demak, mendengar kabar keelokan sang putri itu justru meminang dan mengawininya.

Menjelang upacara perkawinan, Pangeran Samudera menculik kekasihnya itu. Dia membawa kabur Dewi Ontrowulan. Raja marah tak ketulungan. Dia memerintahkan pasukannya mengejar Pangeran Samudera yang notabene puteranya sendiri. Titahnya, kalau tidak bisa menangkap hidup-hidup, sang putera direlakan untuk dibunuh.

Syahdan, pelarian Pangeran Samudera tiba di sebuah bukit indah di daerah Sragen. Perbukitan yang sekarang menyerupai pulau akibat Waduk Kedung Ombo itu, berhentilah pasangan ini.

Bersama pengawal, Pangeran Samudera membuat padepokan. Berkat kewibawaan serta kearifannya dalam menerima rakyat yang eksodus akibat kesewenang-wenangan penguasa dari kerajaan sekitar, maka daerah ini berkembang dengan pesat.

Kemukus, begitu daerah ini diberi nama. Mengandung makna mengasap dan menyebarkan aroma mewangi. Itu sebagai tanda makmurnya hidup rakyat di daerah ini. Selain karena lokasinya yang mengerucut di puncak bukit, yang mirip bentuk kukusan, alat menanak nasi di pedesaan Jawa.

Ketika para ponggawa Demak yang melakukan perburuan mendengar kabar berdirinya wilayah baru yang maju, mereka bergerak untuk menelisik. Saat tahu sang penguasa adalah orang yang diburu, pasukan Demak menyusun rencana untuk menjalankan titah raja.

Ketika halimun masih menyelimuti perbukitan ini, dan penduduknya asyik berlindung di balik sarung, pasukan Demak menyusup ke dalam padepokan. Menaklukkan pengawal Pangeran Samudera, dan tanpa kesulitan masuk ke kamar sang pangeran.

Di peraduan, Pangeran Samudera sedang bercinta dengan Dewi Ontrowulan. Mereka bertelanjang, bertindihan, dan tak sadar bahaya sedang mengancam.

Saat nafsu masih berpacu, pasukan Demak merangsek. Dengan rasa geram mereka menancapkan tombak yang dibawa. Pangeran Samudera tak sempat melawan. Dua tubuh itu tertembus tombak. Lengket menyatu, dan bugil sambil berpelukan. Darah membanjiri Kemukus.

Dewi Ontrowulan tewas seketika. Sedang Pangeran Samudera, sebelum roh meninggalkan jasadnya sempat berujar, ‘anak turunku, sopo wae sing pengin kaleksanan karepe, tiruen lakuku’. Artinya : “Anak keturunanku, siapa saja, yang ingin terkabul keinginannya, tirulah apa yang aku lakukan”.

Ujaran itu kemudian diterjemahkan, jika ingin sukses dalam hidup harus melakukan ‘hubungan intim’ dengan pasangan yang tidak terikat tali perkawinan.

Itu karena Pangeran Samudera meniduri istri ayahnya, ibu tiri, kendati mantan kekasihnya. Tidak jelas, siapa penafsir ungkapan yang berbuah halalnya seks terlarang dan berlanjut sebagai tradisi itu.

Pasangan ‘selingkuhan’ itu dimakamkan di areal ini. Ontrowulan diabadikan sebagai nama sendang. Air sendang ini digunakan sebagai bagian dari syarat ‘ritus’.

Rata-rata yang ritual di tempat ini, habis mandi menemui juru kunci, menuturkan maksud kedatangannya sambil menyerahkan bunga.

Setelah itu, pasangan melengkapi ngalab berkahnya dengan ‘bobok mesra’. Itu yang membuat kawasan ini sekarang berubah menjadi lokalisasi pelacuran, karena makin jarang perempuan yang mau menyerahkan yoninya dimasuki lingga laki-laki yang bukan suaminya. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar