Ekonomi

Ini Batu Akik di Batas Timor Barat dan Timor Leste

Warga Nian mulai lepas dari kemiskinan. Itu karena profesi baru yang mulai ditekuni. Tak cuma berkebun dan menenun yang membuatnya tetap miskin itu, tetapi ada jalan baru yang diambah, yaitu sebagai pengrajin batu akik. Batu mahal setara berlian itu yang membuatnya terentas dari kemiskinan.

Secara umum, kemiskinan yang ada di Pulau Timor hampir merata. Malah kalau musim kering tiba, kelaparan bukan kabar baru. Itu biasa, kendati lebih parah di Timor Leste dibanding Timor Barat.

Alam yang tidak bersahabat, keterbatasan keahlian, serta transportasi dan kurangnya arus informasi sebagai penyebab. Untuk bertahan hidup, maka penduduk berkebun jagung di lereng-lereng bukit, dan menenun kain di kala senggang agar tidak telanjang.

Mereka menjalani siklus waktu seperti itu. Hidup bak jarum jam kehabisan bateray. Mandeg. Tidak heran jika mereka tak kenal kata kaya dan miskin, buta huruf atau melek huruf. Juga siapa yang berkuasa. Diperintah penjajah atau negeri merdeka tak disoal. Hanya satu yang wajib mereka ingat, yaitu ‘Kesar’, pemimpin adat sekaligus ketua suku.

Portugis dan Belanda tukar guling wilayah jajahan kian menyulitkan warga Nian. Antar suku saling jibaku. Heterogenitas suku yang terserak di Pulau Timor membuatnya makin terisolasi. Untuk itu area dengan jalanan mulus bukan ‘tempat tinggal’ ideal. Demi selamat dari konflik antar-suku, mereka membangun pemukiman di dasar jurang atau di puncak bukit. Dan warga Nian memilih perbukitan.

Pulau Timor masuk sebagai bagian dari Republik Indonesia merupakan revolusi. Tidak hanya untuk pemerintah negeri ini, tetapi juga untuk suku yang puluhan jumlahnya itu. Kita paham mereka bingung ketika didata dan diberi kewajiban, serta sesekali diberi penerangan. Didoktrin agar saling akur dengan suku lain, dimana doktrin ini ambivalen dengan doktrin nenek moyang yang menyikapi pola manajemen konflik peninggalan penjajah.

Ketika Indonesia ‘menginvasi’ Timor Timur, daerah ini memang tiba-tiba riuh dengan pendatang. Jalan raya terbentang, aspal, hotmix. Itu karena posisi Nian sangat strategis untuk menuju Ambeno, wilayah Timor Timur yang ‘nyempal’ di Timor Barat. Jalan itu kemudian disebut jalan Jepang, karena saat Perang Dunia II tentara Dai Nippon bersembunyi di daerah ini.

Rakyat Nian (suku) hanya sebagai penonton melihat semua yang terjadi di sekitarnya. Mereka gagap terhadap perubahan, sebab tidak merasa punya kepentingan atas perubahan itu. Kendati, semua terjadi di desa tempat tinggalnya. Warga Nian butuh puluhan tahun untuk ‘menyesuaikan’ diri agar tidak kikuk menghadapi ‘pemaksaan’ perubahan itu.

Nian memang desa kecil. Saking kecilnya hingga tak tampak di peta. Letak daerah ini secara administratif masuk Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Nusa Tenggara Timur. Penduduknya hidup dari bercocok-tanam, menenun, dan kini mulai ada yang berprofesi sebagai pengrajin. Membuat kerajinan ‘batu akik’.

Soal batu akik menjadi bagian dari ‘kebudayaan terbelakang’ ini memang cukup unik. Semula warga Nian yang menemukan bongkahan batu-batu aneh diusung pulang untuk aksesoris rumah. Pendatang yang melihat itu menyuruhnya membelah untuk dijadikan batu cincin.

Suatu hari di tahun 80-an, seorang pelancong dari Australia bertandang ke Nian. Bule itu pakar batu berharga. Dia membawa ‘akik Nian’ untuk diteliti. Hasil sigi yang dilakukan membuat semuanya terpana. Batu akik Nian itu tak hanya indah dilihat, tapi kekerasannya 9, hampir menyamai intan.

Mendengar itu warga memproteksi ‘batu berharga’ itu. Kelak jika batu itu dieksplorasi secara massal, mungkin seluruh warga Nian jadi miliarder. Itu karena semua rumah yang mereka tempati, berdiri di atas bongkahan batu mulia itu.

Akik Nian memang indah nian rupa, harga, serta kemuliaannya mengangkat derajat warga yang merawatnya. Adakah kini akik yang sempat buming itu semakin mensejahterakan mereka? Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar