Kolom

Serat Suluk Gatolotjo (18) : Debat Santri dan Si Buruk Rupa

Melihat santri-santrinya belingsatan, tiga guru yang semula acuh tak acuh itu sekarang bersikap waspada. Dari sorot mata para guru itu tercermin mereka terganggu dengan kedatangan lelaki dekil itu. Mereka tidak suka. Raut mukanya masam menunjukkan rasa itu.

Saat ketiga guru itu mengamati seksama lelaki yang menebarkan bau tak sedap itu, tak sadar ketiganya menyebut asma Allah. "Astagfirullah. Itu manusia atau bukan. Selama hidup di dunia, belum pernah aku melihatnya," begitu gumam mereka.

Mendengar gumam lirih itu, di antara sesama yang ada di tempat itu saling menoleh. Mereka kemudian saling ngrasani. Mereka membeber kejelekan orang yang ada di dekatnya, dan dilontarkan pada sesama sahabatnya.

"Lihatlah manusia yang kurang pengetahuan itu, dia tidak mengerti semua nabi. Di dunia sudah celaka, belum di kemudian hari. Disiksa di akhirat, lipat seribu kali dari yang dialami di dunia. Karena itu, inilah saranku: "Yang rajin mengaji, biar tahu ajaran Rasulullah. Siapa saja yang ikut ajaran nabi, pasti selamat dunia akhirat, juga mendapatkan kemuliaan. Sebaliknya, siapa yang tidak mau ikut ajaran nabi akan mendapat celaka."

"Tapi guru, saya kira itu manusia, " kata Akhmad Arif menyela.

"Jelas dia bukan anak manusia. Anak setan brekasaan, kali. Mungkin keturunan hantu wewe. Lihat mulutnya, matanya, kulitnya, juga kakinya yang aneh itu, " sahut Abdul Jabar.

Gatolotjo bukan tak mendengar olok-olok yang menyakitkan itu. Dia sudah lama melatih diri. Mentulikan telinga. Membutakan mata. Dan membiarkan mulut siapa saja nyerocos membicarakan kejelekan dirinya. Gatolotjo sudah terbiasa untuk melakukan uzlah dihiruk-pikuk keramaian.

Namun karena terus-menerus ‘jeroannya’ dijadikan bahan diskusi antara Kiai dan santri-santrinya, lama-lama watak kemanusiaan Gatolotjo kambuh. Matanya nanap. Degup nafasnya berpacu kencang. Tubuhnya bergetar, dan terjadi perang di batin ‘lelanange jagad’ ini. Dia harus meredam nafsunya yang hendak mendamprat. Dia harus tetap diam kendati merasa sakit hati.

Di puncak pergolakan menahan gejolak batin itu Gatolotjo merogoh saku. Simpanan candu yang dibawa dikeluarkan. Candu sekepalan itu dimakan tandas. Ditelan habis. Sesaat kemudian, reaksinya langsung kelihatan. Candu itu meresap ke kulit dan daging, mendorong syaraf, tulang serta sumsumnya saiyek-saekoproyo bergerak membangun energi. Kekuatan Gatolotjo semua kembali.

Tiba-tiba wajahnya berubah santun. Perubahan itu membuat ketiga guru heran. Mereka terkesiap kaget. Tidak habis pikir. Di benaknya bertanya-tanya, makanan apakah gerangan yang baru saja ditelan hingga laki-laki jelek rupa itu berubah santun.

Saat Gatolotjo mulai kelihatan bersahabat, Abdul Jabar menyuruh Akhmad Arif menanyai sosok yang ada di depannya. Pertanyaannya banyak. Diantaranya, apa yang barusan dimakan. Siapa namanya. Dimana rumahnya. Tak lupa, juga disuruh menanyakan apa pekerjaannya sehari-hari, apa pernah mandi atau tidak kok badannya bersisik. Dan benarkah dia tidak mengerti aturan, najis, makruh, serta haram. Mengapa dia hanya menuruti kesenangannya sendiri dan tidak takut durhaka.

Disuruh menguak pribadi Gatolotjo secara detail, Akhmad Arif mendekati sambil gemetaran. Karena posisinya sebagai santri yunior, maka rasa takut itu ditahan. Dia memberanikan diri untuk melaksanakan perintah Abdul Jabar.

"Orang jelek saya mau tanya." Dia berhenti sebentar.

"Siapakah namamu sebenarnya, dan dimana rumahmu?"

Yang ditanya pelan jawabnya." Gatolotjo namaku. Aku manusia. Lelaki sejati. Rumahku di tengah bumi."

Mendengar jawaban Gatolotjo (kemaluan laki-laki) itu, ketiga guru tertawa bersama-sama. Mereka terbahak-bahak. Lupa statusnya sebagai guru yang digugu dan ditiru. Dan lupa pula jabatannya sebagai ulama yang harus selalu khusnudzon, berbaik sangka.

Ketiga guru itu sekarang suudzon. Di tengah gelak tawanya mereka terdiam. Mereka merasa jawaban Gatolotjo itu bukan jawaban jujur. Jawaban itu sindiran halus yang ditujukan padanya. Itu yang membuat tiga guru itu emosi. Mereka marah karena merasa dikatai sebagai kemaluan (gatolotjo).

"Bedes elek (kera jelek). Nama tidak lumrah seperti layaknya manusia. Namamu itu haram, tahu," katanya.

Melihat tiga guru itu marah-marah, kini Gatolotjo yang keheranan. Dia tidak sadar kemarahan itu akibat jawabannya. "Mengapa semua pada terbahak-bahak. Menertawakan apa kalian?" tanya Gatolotjo pelan.

"Aku tertawa saking gelinya. Heran dengan namamu," jawab Kiai guru.

"Loh, padahal itu nama utama. Gato artinya Kepala. Lotjo berarti alat gosok. Kamu panggil apa saja kuizini. Terserah cara memanggilmu, pasti kujawab. Tapi kalau kamu ingin sejelas-jelasnya tentang aku, namaku yang lain ada tiga. Pertama Barangkinisik, yang kedua Barangpanglusan, dan yang ketiga, ini yang paling terkenal, yaitu Gatolotjo. Nama ini jelas menunjukkan aku adalah pria," kata Gatolotjo.

"Nama itu sangat jelek. Sangat cabul, haram, najis, dan makruh. Itu nama yang sial. Nama yang membuat orang lain menjadi durhaka. Nama yang tidak pantas. Sudah disebut dalam kitab, membenci yang haram, jika mati akan naik surga. Sedang yang menyerupa barang haram masuk neraka," terang Kiai Guru. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar