Kolom

Serat Suluk Gatolotjo (16) : Gatolotjo Itu Lelanange Jagad

Secara sederhana, Serat Suluk Balsafah Gatolotjo ini menceritakan perjalanan manusia jelek rupa yang bertabiat tercela. Manusia ini mengaku lelanange jagad (sebagai satu-satunya lelaki di jagad raya).

Dia menyebut dirinya sebagai pria yang paling hebat. Dia menantang siapa saja yang ditemui. Dari mengajak diskusi sampai melayani untuk berkelahi. Jika lawan-lawannya telah kalah, dia pun kembali bertualang untuk mencari lawan-lawan yang baru.

Figur Gatolotjo memang sangat luar biasa. Dia dilukiskan pandai bicara. Pandai berfilsafat. Pandai madani (mengolok-ngolok dan mengejek). Juga pandai memprediksi.

Dengan kemampuan lengkap itu, maka secara naluriah para lawan Gatolotjo mengakui kehebatannya. Hanya karena bentuk tubuh jelek, kebiasaannya yang jelek, dan watak laki-laki ini yang suka menantang dengan cara-cara arogan, maka penghargaan itu nyaris tidak pernah diterima. Justru Gatolotjo menjadi tumpahan caci-maki dan buruk sangka orang-orang sekelilingnya.

Kehadiran Gatolotjo memang cenderung dihindari. Siapa saja enggan ketemu. Takut berperkara dan membuat masalah dengannya. Dan itu wajar. Sebab jangan lagi ada masalah. Tidak ada masalah saja menjadi bermasalah kalau kedatangan Gatolotjo. Namun siapakah sebenarnya Gatolotjo itu?

Dia diidentifikasi sebagai anak raja yang cacat fisik, keluar dari istana dan mengembara mencari eksistensi diri.

Dia ditemani ponakawan bernama Darmogandul yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Sang ponakawan ini sakti dan pintar menggunakan sihir, sehingga membentuk sosok Gatolotjo semakin luar biasa. Dia mengaku lelanange jagad. Laki-laki hebat tiada tandingan.

Tak dipungkiri, jatidiri Gatolotjo itu merupakan kompilasi kisah Buddha Sidharta Gautama dan ‘mitos Islamisasi’ Brawijaya raja Majapahit. Bedanya Sang Buddha tidak cacat phisik, dan ‘ponakawan’ Brawijaya bernama Sabdo Palon Noyo Genggong. ‘Pembantu mistis’ raja ini tidak sepakat dengan ‘keyakinan baru’ yang dipeluk sang raja dan memilih berpisah.

Gatolotjo dan Darmogandul ‘diilhami’ kisah-kisah itu, selain maknanya yang sama. Nama keduanya dipakai lambang yang biasa digunakan dalam kesusasteraan Jawa, sebagai simbolisasi dari wadi (tabu), hati kecil, nurani dan naluri.

Untuk itu kendati secara literer ‘jorok’, nama itu acap dijadikan ekspresi kesakralan, kekuatan mistis, serta kejujuran gerak batin. Serat ini adalah soliloqui, gumaman untuk katarsis.

Terus siapakah pengarang serat yang begitu bebas bicara, plong memapar pemikiran dan uneg-uneg soal pencarian suatu kebenaran keyakinan itu?

Ternyata ada banyak versi. Ada yang menyebut Soerjanagara, ada yang mengatakan karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, tapi ada pula yang hanya menyebut sebagai karya seorang bangsawan tinggi di Kediri.

Tetapi Van Akkeren dengan sangat yakin mengatakan, pengarang serat ini adalah Kiai Ngabdullah Tunggul Wulung, misionaris Nasrani. ‘Kiai’ ini pula yang disebutnya sebagai pengarang Serat Suluk Darmo Gandhul.

Tapi hemat penulis, pengarang Serat Suluk Gatolotjo ini lebih mengarah pada Raden Ngabehi Ronggowarsito yang saat masih bocah bernama Raden Bagus Burhan. Itu didasarkan pada masa kecilnya yang ‘dibuang’ ke pondok Kiai Hasan Besari di Ponorogo. Saking nakalnya ‘bocah cerdas’ ini dikurung dan diikat sehingga minggat ke Madiun.

Tapi siapa pun penulisnya, rasanya tetap menarik membaca Serat Suluk Gatolotjo yang dari waktu ke waktu terus mengundang polemik itu.

Sejujurnya, serat ini sudah jauh dari aslinya. Penulis berusaha menafsirkan makna yang tersirat untuk memberi gambaran yang lebih gamblang terhadap simbol-simbol yang tertulis. Penulis juga memberi sentuhan bahasa ‘Jawa Suroboyoan’ yang kasar tapi hangat. Itu untuk ‘menghidupkan ‘watak’ sang tokoh yang adigang-adigung kendati sembodo.

Dan terakhir, semoga Tafsir Serat Suluk Gatolotjo edisi revisi ini memberi pencerahan di tengah kesuntukan hidup. Serta menambah semangat di kala dian batin pijarnya mulai meredup. Salam. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar