Kolom

Serat Suluk Gatolotjo (12) : Ini Sakralitas Yoni Versi Minahasa

Dalam mitologi Minahasa, Lumimuut terlahir dari batu karang. Batu itu terbawa ombak dan terdampar di pantai dekat gunung Wulur Mahatus. Saat panas terik, batu itu tiba-tiba meneteskan peluh. Peluh itu menggumpal dan membentuk tubuh manusia, seorang gadis jelita.

Sendirian di pulau kosong, Lumimuut berdoa untuk minta teman. Tuhan mengabulkan. Batu yang diinjaknya merekah, dan muncul sesosok manusia lagi. Jenis kelaminnya juga perempuan, bernama Tareniema yang lambat-laun disebut Karema.

Mendapat teman perempuan di pulau kosong yang kelak menjadi Minahasa itu tak membuat Lumimuut bahagia. Dia ingin kehadiran laki-laki. Gadis ini kembali berdoa. Di pantai yang lengang dia berdiri telanjang. Tangannya direntangkan ke atas, tegak mematung menghadap utara. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai lepas. Angin memainkan dan membelai tubuhnya. Tak lama Lumimuut hamil. Kelak dia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Toar.

Ada laki-laki tetapi anak sendiri membuat Lumimuut tetap kesepian. Maka dipakailah ‘cara’ menghapus hambatan sedarah. Dua kayu dijadikan tongkat berukuran sama. Dengan tongkat itu Toar dan Lumimuut memutari bukit arah berlawanan. Kalau saat bertemu nanti panjang tongkat itu tidak sama, maka keduanya sah untuk berkasih mesra.

Dan betul, perjalanan jauh membuat dua tongkat itu tak sama panjangnya. Itu karena tingkat keausan serta ada tongkat yang tumbuh. Akhirnya ibu dan anak ini jadi suami istri. Dari Toar dan Lumimuut itu terlahir manusia yang diyakini sebagai asal Suku Minahasa sekarang.

Dalam mitos Sangkuriang, subyek dari ‘sakralitas vagina’ itu tidak anak sendiri tetapi satwa. Dayang Sumbi rela menyerahkan yoninya untuk dibuahi Sagopi, anjing piaraannya, hanya karena hewan itu melaksanakan nazarnya. Dari perkawinan itu lahirlah Sangkuriang yang kemudian diusir dari rumah karena membunuh anjing yang tidak diketahui bahwa dia adalah bapaknya.

Jika ‘cara’ Toar dan Lumimuut membenarkan problem ‘Oedipus Compleks’ dengan sarana tongkat, maka Dayang Sumbi memakai pola Abiyasa. Sagopi bukan anjing biasa. Dia satwa jelmaan dewa. Untuk itu jika ini dikembalikan pada ‘kepercayaan’, maka yang terjadi memang harus terjadi. Sudah takdir.

Telisik ‘asal’ sakralitas vagina macam ini memang diyakini berasal dari India. Secara apologia, di negeri itu kuil disebut sebagai ghra garba, rumah yang disucikan. Dalam pembangunannya, master kuil itu berdasar lukisan perempuan. Posisinya duduk menekuk dua kaki, dengan penekanan bagian terlarang dilukis transparan.

Detail lukisan itu penting. Sebab skema itu menyuratkan saat kuil itu sudah berdiri. Rupa dan tubuh gadis memang tidak tergambar. Tetapi bagian vital sang gadis amat menentukan. Bagian ini menjadi pintu kuil. ‘Kemaluan’ sang perempuan adalah gambaran pintu masuk kuil.

Dengan begitu terdapat pesan, bahwa seseorang yang memasuki kuil sama dengan masuk ke dalam ruang suci, kembali ke sangkaning dumadi, yang secara kasat mata sama artinya dengan memasuki vagina, dimana manusia dilahirkan ke dunia.

Bagi pemahaman Jawa, rahim seorang ibu adalah guo garbo, guo sigarane bopo, gua ‘pecahan bapak’ (seperti tersirat dalam filosofi tumbu oleh tutup), gua kesucian. Di ‘gua’ ini embrio manusia disemaikan. Janin itu ‘bertapa’ selama sembilan bulan sebelum terlahir ke dunia. Di rahim ini manusia menjalani hidup sebelum hidup. Dan di rahim ini pula manusia berproses dalam kesempurnaan phisik dan psikisnya.

Sakralitas itu tidak melulu dipahami sebagai asal manusia menjadi manusia. Dalam kehidupan di dunia pun ‘asal’ manusia itu tetap dikultuskan, sebagai unsur kekuatan di luar kodrat kemanusiaannya. ‘Sakti’ secara kanoragan dan ‘sakti’ secara spiritual juga ‘bertumpu’ pada kepercayaan asaling dumadi itu. Dan akhirnya, mistisisme jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia Jawa. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar