Serat Suluk Gatolotjo (8) : Ini Petualangan Yoni 'Mencicipi' Perempuan

Serat Suluk Gatolotjo (8) : Ini Petualangan Yoni 'Mencicipi' Perempuan

Dalam Gatolotjo, untuk ‘menghidupkan’ petualangan lingga menjelajah kemaluan perempuan (yoni), berbagai katuranggan wanita, ‘rasa seks’ perempuan berdasar anatomi tubuhnya diwakili Dewi, Menuk, Menik, Glemuk, Lupitwati, sebagai bagian dari simbolisasi Wiwik dan Bawuk.

Memang ‘rasa seks’ itu tertuang tidak vulgar. Malahan sangat filosofis melalui cangkriman, teka-teki. Tanya jawab itu menyangkut hakekat hidup manusia, Tuhan dan Nabi. Juga ilmu, iman, kebajikan, dosa, serta surga dan neraka.

Namun jika nama-nama itu ditelaah secara instingtif, dalam banyak primbon memberi catatan yang sangat luar biasa. Sebab itu bagian dari katuranggan wanita, lebih dan lemahnya perempuan dilihat dari sisi kulit, rambut, bentuk tubuh, bentuk kaki, bentuk tangan, dan hari kelahiran yang berkaitan erat dengan nafsu serta gairah seksnya.

Sebutan perempuan ‘obyek’ Gatolotjo tidak asing bagi masyarakat Jawa di pedesaan. Semua nama itu sinonim. Banyak dipakai sebagai nama-nama wanita Jawa. Adakah itu karena ke-tidak-pahaman, bahwa Dewi, Menuk, Wiwik, Bawuk itu kata lain dari vagina?

Jangan salah duga. Manusia Jawa sangat paham soal itu. Tapi di balik pemahaman yang ‘profan’ itu mereka juga memahami sakralitas yang terkandung dalam nama itu. Bagian intim perempuan dipercaya sangat mistis. Sebab dari sana diyakini segalanya bermula. Dan dari sana pula kesucian berasal.

Di Candi Sukuh Matesih dan Candi Cetho, Jenawi, Jawa Tengah, misalnya, relief dan patung semuanya mengumbar aurat. Sejak regol (gapura), pintu masuk, terukir jelas lingga dan yoni itu dalam posisi berhadap-hadapan.

Dan begitu memasuki areal candi, maka berbagai patung yang ada, mulai patung manusia sampai patung satwa, semua dalam posisi memampang kemaluan.

Di ujung candi, di sebuah altar tinggi Candi Sukuh terdapat sebuah ‘lubang’. Lubang itu dulu sebagai ‘tempat menancap’ patung lingga. Bentuk lingga itu sangat realis dengan tinggi tujuh meter. Kini ‘patung’ itu tidak lagi berada di tempatnya karena sudah diusung ke Museum Nasional Jakarta.

Namun kendati terkesan porno, candi ini sangat disakralkan. Dibangun abad XVI candi ini berfungsi sebagai pusat ritus. Dari ritus perkawinan sebagai tengara fertilisasi, ritus cocok tanam untuk mendapatkan ‘restu Dewa’ agar hasil panen sesuai harapan, sampai ruang bagi pembesar kerajaan menjalani lelaku setelah ‘lengser keprabon’ untuk ‘madheg pandhito’.

Dalam ritus perkawinan, di altar inilah virginitas mempelai putri diuji. Gadis yang hendak kawin dibalut kain putih dan dibawa ke atas altar ini. Sakramen itu dilangsungkan malam hari tatkala bulan bersinar penuh. Dengan alas kain yang dipakainya para perawan itu melepas virginitasnya.

Malam pertama yang dilakukan di altar itu disaksikan keluarga dekat dan para pemimpin agama. Seorang pendeta mengambil kain yang terpercik darah perawan dan dioleskan ke patung lingga sebagai ‘persembahan’ sekaligus pertanda dimulainya ‘kehidupan suci’. Kehadiran seorang ibu yang kelak bakal melahirkan ‘manusia baru’.

Bahkan sakralitas lingga yoni itu juga amat penting dalam kaitan dengan makhluk halus perusak. Dalam kepercayaan Jawa, kalau ada anak yang takut keluar malam karena digoda hantu, solusi yang diberikan orangtua amat simple.

Orangtua menyuruh anaknya telanjang bulat. Membuka pakaian, dan menunjukkan lingga atau yoninya. Ini sebagai pengusir hantu. Kemaluan itu dalam kepercayaan lama dipercaya membuat hantu ngacir. (bersambung/Djoko Su'ud Sukahar)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index