Ekonomi

Starbuck Itu Ternyata Berawal Dari Kopi Arabika Sumatera

Bau kopi panas semerbak. Tercium memenuhi sebuah toko kopi pada 1981 silam. Riuh pramusaji menyendok biji-biji kopi dari sebuah wadah, yang lantas digiling hingga menjadi bubuk. Bubuk kopi itu dituangkan ke dalam saringan berbentuk kerucut, diikuti air panas. Pengunjung toko kopi itu berdecak kagum atas ketangkasan si pramusaji.

Perlahan si pengunjung menghirup dan menyeruput kopi panas itu. Ia terbelalak dan berdecak. Sungguh, kopi itu membuat paginya tersentak. Aromanya begitu kuat dan juga berat. Toko kopi itu bernama Starbucks.

Pria tersebut adalah Howard Mark Schultz. Dan, kopi yang diminumnya ialah kopi arabika asal Sumatera. Sejak saat itu, Schultz selalu mengawali paginya dengan meminum kopi arabika Sumatera. Kisah itu tercantum dalam bukunya yang berjudul Pour Your Heart Into It: How Starbucks Built a Company One Cup at a Time.

Pada 1987, Schultz mengakuisisi Starbucks yang lalu menjadi Starbucks Corporation. Pada 2012, omzet warung kopi global itu sekitar USD 13 miliar. Tak salah jika Forbes pada 2013 menobatkan Schultz sebagai salah satu orang terkaya di Amerika Serikat, dengan harta yang ditaksir sekitar USD 2 miliar. Di Indonesia, nilai harta Schultz hampir setara dengan Putera Sampoerna, atau Sukanto Tanoto.

Starbucks Rasa Kopi Nusantara

Data yang didapat menjelaskan, era 1970-an, Indonesia sebenarnya telah memasok biji-biji kopi ke Starbucks, Seattle, Amerika Serikat. Sejak saat itulah Starbucks begitu lekat dengan Indonesia. Apalagi, Starbucks juga menjual biji dan bubuk kopi jenis arabika asal kawasan tertentu (single-origin), di samping kopi racikan (blend).

Kopi dari Nusantara dipasarkan dengan nama “Starbucks Sumatra”, “Starbucks Reserve Island Flores”, serta “Starbucks Reserve West Java”. Lebih lagi, “Starbucks Sumatra” menjadi salah satu produk Starbucks terlaris di dunia. Sementara, beberapa kopi dari negara lain hanya menggunakan nama negaranya saja misalnya, “Starbucks Ethiopia”, dan “Starbucks Reserve Colombia Caldas”.

Di Indonesia, adalah PT Mitra Adi Perkasa Tbk (MAP)? perusahaan pemegang lisensi usaha Starbucks di Indonesia?Starbucks bahkan menamai produknya berdasarkan nama perkebunan atau desa tempat kopi tersebut ditanam. Hal itu berlaku jika Starbucks hanya mendapatkan pasokan biji kopi dalam jumlah yang terbatas.

Anthony Cottan, pria asal Inggris yang sedari awal membidani kehadiran Starbucks di Indonesia. MAP melansir gerai perdana Starbucks di Indonesia pada 2002. Sebelas tahun kemudian, MAP telah mendirikan sekitar 160 gerai Starbucks. Itu data per September 2013.

Saat Howard Schultz, bos dan pendiri Starbucks Corporation, berkunjung ke Indonesia beberapa tahun lalu, ia bahkan mencanangkan ekspansi bisnis yang lumayan fenomenal: membuka 100 gerai baru dalam tempo 3 tahun ke depan. Padahal, Dunkin’ Donuts Indonesia?merek penganan cepat-saji asal Amerika Serikat, juga menyajikan kopi?butuh waktu puluhan tahun sejak 1985 untuk mendirikan sekitar 200 gerai.

“Indonesia telah dipandang sebagai salah satu pasar utama Starbucks yang tengah berkembang. Dan kami akan tetap berinvestasi di Indonesia untuk mendukung rencana pengembangan usaha dengan disiplin,” papar Schultz dalam keterangan persnya.

Tak “Pede “

Starbucks memang sukses mengubah budaya ngopi-ngopi (di warung kopi) menjadi gaya hidup masa kini. Kopi menjadi tren. Tak hanya menjajakan kopi berkualitas, Starbucks juga “menjual suasana dan sentimen”: tata letak dan desain gerai, kisah dan sejarah dibalik budi daya kopi, serta hal-hal lain yang dapat menggugah seseorang mencicipi kopi Starbucks. Nah, kesuksesan inilah yang menjadi ‘tamparan’ bagi Indonesia, yang notabene salah satu produsen kopi terbesar dunia.

“Indonesia dikenal memiliki modal kekayaan biji kopi yang luar biasa, mulai dari Lampung, Ungaran, Toraja, hingga Aceh dan Sumatera. Sedihnya, biji-biji kopi hebat itu hanya diolah dengan cara tradisional. Alhasil, (kopi tersebut-Red) di warung paling banter laku Rp 5.000,-,” tukas Basri Adhi, Pemilik gerai Misterblack Coffe.

Menurut penulis yang tulisannya dimuat dalam Kumpulan Hikmah "Kun Fayakun for Business", pelaku usaha di Indonesia sering kali latah. “Kita sering tak percaya diri. Tapi, ketika perusahaan global seperti Starbucks telah sukses, kita lalu ikut meniru-nirunya.”

Sebetulnya, peluang bagi pelaku usaha lokal masih terbuka luas. Menurut Basri, usahawan muda yang baru merintis bisnis itu bisa menggunakan kemampuan kreatifnya dalam membangun merek lokal yang kuat dan bernilai tambah. Dengan begitu, produk dan merek lokal bisa menjadi pilihan nomor satu di rumah sendiri. Semoga. Dian 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar