Humaniora

Ritus Batak Toba (6-Habis) : Batak Persinggahan Berbagai Agama

Kelompok Padri (Wahabbi) melancarkan Perang Padri (1821-1837) untuk mengislamkan daerah Batak. Mereka sukses di daerah Tapanuli Selatan, yaitu dengan mengislamkan Angkola dan Mandailing. Tetapi tidak berhasil mengislamkan orang Toba yang tinggal di pedalaman.

Apa yang terjadi di sini ialah, bahwa Islam menggantikan adat mereka. Adat Batak dicap sebagai kafir dan orang harus diislamkan. Adat Islam menggantikan adat Batak di daerah itu. Yang masih tinggal hanya 'marga'. Tetapi kebiasaan kurban tidak ada lagi.

Datangnya Zending Protestan pada tahun 1862 oleh Ludwig Ingwer Nommensen membuka daerah Toba untuk dunia luar. Nomensen berhasil mengkristenkan daerah Toba. Selain sebagai misi agama dan pewartaan Injil, Zending juga terlibat dalam urusan sosial-caritas, yaitu membangun sekolah, rumah sakit dan yayasan sosial lain.

Dalam hal ini Protestan terlibat dengan hidup sosial orang Toba. Tetapi tidak dengan adatnya. Zending melarang diadakannya upacara kurban dengan mengatakan, bahwa itu sipele begu, menyembah roh (jahat), atau yang biasa disebut sebagai animisme.

Musik tradisional dilarang. Lalu itu diganti dengan trompet. Proses penyesuian Gereja dengan budaya setempat adalah sejauh, menterjemahkan alkitab, dan menggunakan struktur organisasi hubungan famili untuk penyebaran agama Kristen. Yang terjadi di sini ialah memasukkan kekristenan dalam ke-batak-an dan sekaligus memilih hal-hal yang cocok dari adat itu untuk kekristenan.

Kemudian pada tahun 1930-an datang misi Gereja Katolik. Mereka tidak perlu mengkristenkan banyak orang Batak-Toba lagi. Mereka nampaknya lebih terbuka kepada adat setempat.

Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Toba, dibuat buku acara ritual di mana mereka boleh merayakan adat kebiasaannya secara Gereja Katolik. Upacara kurban diterima sebagai sakramentalia dan musik tradisional dipakai di dalam musik Gereja. Bahkan dalam Sakramen perkawinan misalnya P. Leo Joosten memakai simbol-simbol orang Toba.

Beras sebagai simbol berkat untuk menguatkan roh (boras si pirnitondi), daun sirih dan uang (napuran tiar dohot ringgit sitio suara) sebagai permohonan untuk masa depan yang baik dan sejahtera, mangkok berisi air (aek pangurason) lambang untuk menyucikan dan memberi hidup.

Dan ulos (selendang batak) sebagai lambang kesatuan mereka, bahwa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh apa pun selain kematian. Dan selain itu, dipakai juga cincin sebagai lambang cinta di antara mereka berdua. (Dian Yuniarni/Habis)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar