Ekonomi

Trump Ancam China, Berbagai Mata Uang Dunia Terkapar

JAKARTA-Nilai tukar mata uang Amerika Serikat menggila, menyebabkan berbagai mata uang negara lain terkapar. Yang sudah ambruk adalah Turki dan Venezuela, serta Argentina. Kini rupiah sudah hampir Rp 15 ribu per dolar.

Reuters mencatat, dolar Amerika Serikat AS) sudah bermain-main di angka Rp 14.926 hingga Rp 14.999. Dan penguatan dolar AS itu hampir serentak menimpa mata uang berbagai negara lain.

Mata uang euro melorot (0,06%), poundsterling (0,33%), dan rusian rubble (0,44%). Yang masih menguat tinggal china yuan yang menguat 0,14%.
 

Penguatan dolar AS ini diyakini dipengaruhi faktor eksternal. Diindikasikan karena krisis di Turki dan Argentina dan kenaikan suku bunga acuan AS.

Sedang untuk kalangan trader minyak sawit lebih mempercayai, bahwa itu akibat sikap keras Donald Trump yang akan memberlakukan bea masuk impor produk China sebesar 200 miliar US dolar pekan ini.

Untuk menjaga agar rupiah tidak terus melorot, Bank Indonesia sudah mengintervensi dolar di pasar valas dan SBN hingga Rp 11,9 triliun. Dan perbaikan neraca pembayaran serta perdagangan diharapkan mampu menahan tekanan dolar AS.

Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, pelemahan nilai rupiah memang didominasi faktor eksternal. Yaitu dari perbaikan ekonomi AS, rencana kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR), sampai ketidakpastian perang dagang antara AS dengan China.

"Pola ekonomi dunia memang didasarkan kuatnya ekonomi AS. Sedang negara-negara lain mengalami perlambatan. Ini kenapa dolar AS kuat dan yang lain lemah," ujar Perry saat rapat dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (5/9/2018).
 

Katanya, kenaikan suku bunga The Fed juga membuat arus modal asing banyak yang masuk ke Amerika. Apalagi berbagai negara lainnya belum ingin melakukan penyesuaian suku bunganya.

"Kondisi ini semakin mendorong investor global pindahkan portofolionya ke AS. Ini faktor-faktor yang sebabkan dolar kuat secara luas," tambahnya.

Selain faktor global, katanya, depresiasi rupiah belakangan ini juga disebabkan oleh defisit transaksi berjalan (CAD). Transaksi berjalan yang masih defisit menandakan kebutuhan akan valas semakin besar. "Kita fokus tangani kondisi CAD. Ini yang menjadi fokusnya," tuturnya. ass/jss


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar