Panembahan Senopati (1584-1601), pendiri Mataram yang selalu gagal memekarkan wilayah kekuasaannya dijadikan tauladan. Kerajaan yang belum kental Islamnya itu tidak kunjung berhasil menaklukkan daerah pesisir.
Sandungannya, kerajaan Islam kecil-kecil itu menjadi sangat kuat di bawah kendali Walisongo (Pen : Walisana versi Widji Sutrisno dalam MengIslamkan Tanah Jawa).
Ketika kuasa raja berada di tangannya, yang mula-mula dilakukan Sultan Agung adalah ‘mengIslamkan diri’. Mengubah perhitungan tahun dari rembulan ke matahari sehingga Tahun Hijriyah dan Tahun Jawa menjadi sama.
Dia mengajukan permohonan ke Ottoman untuk menggunakan gelar sultan. Setelah itu Sultan Agung merangkul para wali sebagai justifikasi Mataram memang beragama Islam.
Dari sekian banyak inovasi yang dilakukan Sultan Agung itu, perubahan perhitungan tahun merupakan salah satu yang membuat kegoncangan. Berbagai upacara jadi berubah waktu dan penyebutan.
Penentuan satu Suro yang bersendi almanak Aboge (Alip Rebo Wage) berselisih waktu. Saat itulah ‘Sekatenan’ yang semula sebagai ‘paweling asaling dumadi’ akhirnya dimaknai sebagai upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ketika Kerajaan Mataram benar-benar diakui sebagai kerajaan beragama Islam, pencaplokan wilayah pun mulai tidak terhindarkan. Menurut catatan De Han dan De Graff, kerajaan kecil di pesisir satu demi satu diklaim sebagai ‘tanah milik’ Mataram. Tindakan ini mendisharmonisasi kerajaan Islam di pesisir.
Saat pertemuan Bupati di Rembang, Jawa Tengah, Sunan Giri Prapen yang lama mendengar tindakan itu merasa perlu ‘mengingatkan’. Dengan halus Sang Giri Nata ‘menegur’ secara euphemistis. Sunan Giri menyindir cucu Panembahan Senopati itu. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)