Kolom

Serat Suluk Gatolotjo (1) : Ini Sakralitas Penis dan Vagina

Serat Suluk Gatolotjo merupakan karya sastra yang kontroversial. Itu karena identifikasi sosok dan namanya saja sudah mendorong yang membaca untuk berasosiasi jorok.

Itu tak terelakkan, karena Gatolotjo secara harafiah memang bermakna lingga. Sama juga dengan darmogandul, totok, penis, phallus atau sebutan lain yang identik dengan kemaluan laki-laki.

Untuk itu, kendati makna yang diusung serat ini menyangkut persoalan hakiki, tentang hakikat hidup dan perbincangan asal-akhir hidup, tetapi tetap saja kesan ‘porno’ itu tidak dapat terhindari.

Memang Gatolotjo secara implisit mempunyai arti seperti itu. Ini faktor yang membuat serat ini tak habis-habis menjadi bahan perdebatan. Dari masa ke masa pro-kontra tumbuh subur. Dan sempat dilarang dibaca atau diedarkan karena didekati melalui pendekatan agama-agama samawi itu. Agama wahyu.

Dalam agama wahyu, Islam, Kristen, dan Yahudi, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Disebut dalam sejarah kejadian tersebut, Allah menciptakan manusia setelah malaikat diciptakan dari cahaya dan setan dari api. Manusia dibuat dari tanah hitam yang ditiupkan ‘roh Allah’.

Firman Allah : ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Apabila telah Kusempurnakan dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu bersujud kepadanya’. (Al-Qur’an 38 : 71-85)

Setelah itu seluruh malaikat bersujud, kecuali iblis. Iblis tidak mau sujud pada manusia (Nabi Adam) dengan alasan yang menjadi ‘bahan’ manusia adalah tanah.

Peristiwa ini yang menjadikan setan sebagai makhluk yang dikutuk. Firman Allah : ‘Keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu adalah orang yang diusir. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan’.

Dalam Serat Suluk Gatolotjo pemahaman asal manusia itu tidak demikian. Tradisi sinkretisme mengental didalamnya. Dikatakan begitu, karena dalam serat ini akulturasi berbagai paham merasuk teramat dalam. Dari identifikasi sang tokoh, lingkungan dalam melakukan petualangan serta ngudarasa, mengekspresikan gejolak batinnya, berbagai paham itu campur-aduk.

Tidak mengherankan jika berbagai ‘aturan’ itu ditarik ke ‘ranah agama’, maka berbagai isme agama diketemukan dalam serat ini. Paham itu mengalir begitu saja tanpa ‘rasa bersalah’ karena bisa menimbulkan benturan akidah.

Namun jika ditarik garis lurus, di antara sekian paham itu, penyembahan roh nenek moyang sangat tinggi muatannya. Itu kental terbaca, terutama dalam ‘melihat’ asal-usul manusia hadir ke dunia.

Paham bercorak animis itu akar kehadiran Gatolotjo. Paham itu simultan tampil melalui dialog dengan kawan maupun lawan-lawan bicara Gatolotjo. Pandangan itu jelas bertentangan dengan dogma agama samawi, terutama Islam.

Tapi tak dipungkiri pemahaman seperti itu adalah ‘khas Jawa lama’. ‘Budaya terbuka’, sikap permisif etnis ini memberi ruang luas untuk segalanya masuk dan dengan mudah diterima. Kendati dengan satu catatan, tidak serta-merta paham itu dipeluk dan dijalankan sesuai syariatnya. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar