Politik

Sawit Beri Devisa Rp 300 Triliun, Tapi UU Sawit Masih Tarik Ulur

Kelapa sawit telah memberi kontribusi besar terhadap negara. Devisa yang dihasilkan sudah mencapai Rp 300 triliun, menumbangkan pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi. Namun begitu, payung hukum untuk menaungi bisnis ini justru berjalan stagnan. Malah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai  Rancangan Undang Undang (RUU) Perkelapasawitan masih belum diperlukan saat ini. Itu disampaikan Darmin Nasution  saat  mengikuti rapat bersama Badan Legislatif di Ruang Rapat Legislatif Gedung  Nusantara I DPR RI. Darmin mengatakan, pemerintah sependapat dengan DPR, bahwa kelapa sawit  adalah komoditas yang sangat strategis. Namun berdasarkan kajian komprehensif  dan konsultasi dengan pemangku kepentingan, pemerintah menyimpulkan belum dibutuhkan adanya Undang-Undang Perkelapasawitan. "Pemerintah menilai konsep RUU yang disiapkan DPR belum memenuhi aspek penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ujar Darmin. Darmin menjelaskan, pertimbangan secara substansi bahwa Undang-Undang Perkelapasawitan belum dibutuhkan  adalah, telah ditetapkan beberapa Undang-Undang yang terkait pengaturan kelapa sawit. "Sudah ada UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, UU No 7 tahun 2014 tentang  Perdagangan, dan UU No 19 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan lainnya," sebut Darmin. Darmin mengucapkan terimakasih  dan menyambut  baik undangan DPR untuk membahas usulan RUU Perkelapasawitan. Akan tetapi, lanjut Darmin, hingga saat ini Pimpinan DPR belum menyampaikan secara resmi RUU Perkelapasawitan kepada Presiden. Di tempat yang sama, MenteriPertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menjelaskan, ada beberapa pasal amanat dari UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang telah ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pertanian, yaitu 4 Peraturan Pemerintah yang harus diterbitkan meliputi perizinan upaya perkebunan, perbenihan tanaman perkebunan, pelindungan wilayah geografis penghasil perkebunan spesifik lokasi dan penghimpunan dan usaha perkebunan. Dari 4 Peraturan Pemerintah, lanjut Amran, telah diterbitkan 2 Peraturan Pemerintah yaitu peraturan No 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan wilayah geografis penghasil perkebunan spesifik lokasi dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2015. Sedangkan Peraturan Menteri Pertanian yang diamanahkan ditindaklanjuti sebanyak 10 Peraturan Menteri Pertanian yang mengatur dalam perencanaan perkebunan nasional. “Dari berbagai peraturan yang sudah ada, subtansi dari Peraturan Perundang-undangan yang ada sudah cukup komprehensif mengatur aspek-aspek perkebunan dari hulu ke hilir," ucap Mentan Amran. Sementara, Wakil Ketua Badan Legislatif, Firman Subagyo yang memimpin rapat mengungkapkan, RUU Perkelapasawitan ini sudah dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan telah disetujui oleh Presiden atau pemerintah yang dalam hal ini diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). "RUU ini masih diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), belum disahkan sebagai RUU inisiatif. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis. Karena sawit itu sudah memberikan kontribusi terhadap negara berupa devisa yang jumlahnya Rp 300 triliun per tahun atau sudah di atas penerimaan negara dari sector minyak dan gas bumi," jelasnya. Bel


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar