Regulasi

PPN TBS 1% : Kilometer Nol Perbaikan Tataniaga TBS

JAKARTA -  Pemerintah berencana memberikan insentif pajak kepada sektor perkebunan kelapa sawit dalam rangka menjaga perekonomian nasional apalagi ditengah pandemi Covid-19 atau Corona.

Hal ini disampaikan dalam kegiatan teleconference antara Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI pada 28 April 2020 yang diikuti oleh perwakilan Kementerian Perekonomian RI, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Direktorat Jenderal Pajak, dan Asosiasi Perkelapasawitan salah satunya diikuti oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).

Topik pertemuan ini membahas Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai PPN Hasil Pertanian salah satu fokus pembahasan mengenai PPN TBS sawit  menjadi 1%.

“Karena ini sangat urgen dan APKASINDO diberi waktu hanya 2 minggu untuk menjawab setuju atau tidak, maka DPP APKASINDO langsung menindaklanjuti melalui Video Conference tanggal 29 April 2020, dengan Topik  membahas “PPN TBS Petani dari 10% menjadi 1%, menguntungkan Petani atau tidak” yang diikuti perwakilan 22 DPW Provinsi," kata Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO, dalam perbincangan melalui telepon.

Rencananya pemerintah akan merevisi besaran PPN TBS sawit dari 10% menjadi 1% adalah topik utama. Dari 22 Provinsi, hadir petani kelapa sawit dari 17 provinsi, mereka berasal dari provinsi Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalbar, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kaltara, Sulteng, Papua, Sumut, dan Sultra. Sedangkan 5 DPW lagi memberikan pendapat secara tertulis.

Pertemuan dipimpin langsung oleh Ketua Umum DPP APKASINDO, Ir. Gulat ME Manurung, MP dengan Host Sekjend DPP APKASINDO, Rino Afrino, ST., MM yang menghadirkan Dewan Pakar APKASINDO Dr. Tungkot Sipayung untuk memberikan pandangannya.

“Hasil dari Diskusi VidCon ini juga kami Diskusikan dengan Pihak-Pihak  Pakar yang memahami tentang Pajak seperti Erdy Riahman Damanik, M.Ak., SE.Ak., CA,AAI.J dan tentunya dengan Pakar Tataniaga TBS, Prof. Ponten Naibaho,” ujar Gulat Manurung.

Gulat menerangkan bahwa muncul sejumlah fakta menarik dalam diskusi tersebut ternyata petani sawit berkategori taat pajak. Dalam aktivitas kesehariannya, Petani telah membayar pajak penghasilan 0,25% untuk setiap kilogram TBS yang dijualnya. Fakta lainnya, sudah banyak petani sawit bernaung dalam kelembagaan seperti koperasi dan berstatus PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Dr. Tungkot Sipayung menjelaskan rencana PMK tersebut berkaitan stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah di masa pandemic Covid-19 seperti keringanan pajak melalui penurunan PPN dan PPh UMKM juga dibebaskan sampai September 2020. Kebijakan pemerintah ini dinilai sangat berpihak kepada petani sawit karena PPn dibebankan serendah mungkin sebesar 1%.

“Jadi kebijakan ini menguntungkan petani sawit, dampaknya harga TBS akan naik sedikit dengan kondisi ini. Dalam hal ini, pemerintah memahami basis petani perkebunan sangat kuat di petani swadaya yang mencapai 41%. Langkah ini strategi jitu pemerintah mendukung semua lini perekonomian termasuk sawit, dan menjadi permulaan awal mengatasi pandemi Covid-19 dan pasca pandemi diharapkan ekonomi cepat pulih,” jelas Tungkot.

Diakui Tungkot bahwa selama ini kalau petani non PKP/tidak berkelompok/koperasi/swadaya memang dirugikan karena TBS langsung dipungut PPn 10%. Lalu, saat petani membeli pupuk juga dibebankan PPn 10%. Dampaknya, kedua jenis pajak tersebut tidak bisa direstitusi. Istilahnya, depan kena belakang kena. Berbeda kalau Koperasi atau  Kelompok Petani yang berstatus PKP bisa merestitusi pajak ini.

“Itu sebabnya, PPN TBS 1% ini adalah solusi untuk semua Pemasok TBS sawit kepada pabrik sawit. Solusi bagi petani yang punya status PKP dan non PKP,” jelasnya.

Demikian juga pendapat Erdy Damanik yang merupakan Kandidat Doktor dan Patner di Kantor Konsultan Pajak Rudi Hartono & Rekan, ketika diminta pendapat melalui telepon, berpendapat bahwa penurunan PPN TBS menjadi 1 % memberikan manfaat  selain kepada Petani Sawit yang merupakan PKP,  juga kepada koperasi penjual TBS yang berstatus PKP. Manfaat ini berupa restitusi 100% dari total PPN masukan yang dapat dikreditkan  dari pembelian barang kena pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terkait dengan produksi TBS. Restitusi 100%  dimungkinkan karena PPN TBS sebesar 1% ini bersifat final atau tidak dapat dikreditkan oleh pembeli TBS.

Namun  manfaat ini hanya bisa dioptimalkan jika Petani Sawit ataupun Koperasi penjual TBS yang berstatus PKP tadi, tertib secara administrasi perpajakan, khususnya PPN, karena pengajuan restitusi PPN ini akan melalui pemeriksaan pajak untuk menetapkan jumlah pajak lebih bayar yang akan diterima oleh Petani Sawit ataupun Koperasi penjual TBS.

Sebagai contoh, Koperasi A menjual TBS sebesar 100 juta kepada PKS C, sebagai PKP Koperasi A wajib memungut PPN dari PKS C dengan tarif 1%, maka uang yang diterima oleh Koperasi A adalah sebesar Rp. 101 juta, yaitu Rp. 100 juta dari penjualan TBS dan Rp 1 juta merupakan PPN yang dipungut dari PKS C dan merupakan milik Negara serta wajib disetor ke Negara oleh Koperasi A.  Diperiode yang sama, Koperasi A membeli pupuk atau saprodi lainnya dengan nilai Rp 80 juta dan dipungut PPN 10% senilai Rp8 juta oleh pihak yang menyerahkannya. Karena PPN 1% ini bersifat final atau tidak dapat dikreditkan oleh PKS C, maka Koperasi A dapat mengajukan restitusi PPN sebesar Rp8 juta kepada Negara.

Cukup alot dan hidup diskusi DPP APKASINDO tersebut, ujar Gulat, hal ini nampak dari beragamnya pendapat dan usul yang muncul perihal PPN TBS ini.

Santa Buana, Ketua DPW APKASINDO Riau menjelaskan bahwa regulasi PPN 10 % yang sudah berjalan 7 tahun terakhir ini telah dijalankan oleh kelembagaan koperasi/PKP yang bermitra dengan perusahaan melalui mekanisme  harga penetapan tim TBS. Rencana penurunan PPN 10%  menjadi 1% akan sangat dirasakan petani jika pemerintah berhasil mewajibkan semua pabrik sawit baik komersil dan non komersil dapat mematuhi penetapan harga TBS yang setiap minggu dihitung secara rutin di setiap provinsi penghasil sawit, sebab ketidakpatuhan itu yang paling dirugikan adalah petani pekebun (swadaya).

Ketua DPW Sulawesi Tengah, Siswanto dan Ketua DPW Kalimantan Barat Indra Rustandi, menyatakan bahwa anggotanya tertib melaksanakan PPN 10% ini dalam 3 tahun terakhir kendati proses penyetoran terbilang ribet. Selain itu, petani juga membayar PPh. “Kami mendukung bila PPN ditunkan menjadi 1% namun tidak setuju kalau dihapuskan. Pemahaman kami tentang PPN ini bahwa Perusahaan mendahulukan PPN Petani Pekebun, lalu Perusahaan menagih kembali ke negara (restitusi). Namun perlu dicatat bahwa rentang waktu mendahulukan dengan dibayar kembali setelah direstitusi oleh pabrik sawit rentang waktu agak lama.

“Jadi yang kami rasakan petani yaitu perusahaan menghitung suku bunga bank dan suku bunga tersebut dibebankan ke petani melalui harga TBS yang diterima petani,” jelasnya. Demikan juga dengan restitusi PPN Saprodi, kami tidak pernah menagihnya Kembali karena ketidakpahaman kami sebagai petani", ujar Indra.

Hasil dari rapat teleconference ini, dikatakan Gulat bahwa APKASINDO setuju rancangan pemerintah tentang  PPN TBS sawit 1 % yang seharusnya sudah direvisi semenjak 7 tahun lalu. Kendati demikian, asosiasi tidak sepakat  jika TBS tidak kena PPN, karena negara sangat membutuhkan pajak ini.

Yang berkembang pada diskusi DPP APKASINDO adalah masalah harga yang ditetapkan di masing-masing pabrik sawit, semua peserta dari 17 Provinsi berpendapat  harus diseragamkan melalui tataniaga TBS yang telah diatur dalam Permentan No 01 Tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS dari Pekebun (Petani), jelas disebut Pekebun (Petani), bukan Plasma atau petani bermitra (tanpa kecuali, semua pekebun).

Dari 879 pabrik sawit di seluruh Indonesia, faktanya sekitar 15%-20%  pabrik yang mematuhi Permentan 01/2018. Sementara itu, adapula yang menghitung berdasarkan perhitungan sendiri, terutama PKS Komersil.

Gulat mengatakan saat menjadi pembicara Seminar Nasional Andalas Forum Kelapa sawit di Batam Bulan Februari Tahun 2019 dirinya telah menawarkan konsep satu harga TBS seluruh Indonesia sebagai solusi peningkatan kesejahteraan petani yang berkeadilan. Sebab selama ini terjadi perbedaan harga yang cukup Siginifikan di Indonesia bagian Timur dengan Indonesia Bagian Barat, selisihnya bisa mencapai 40%, Padahal TBS di Sulawesi Selatan dengan di Sumatera Selatan tetap saja menghasilkan CPO.

Gulat memaparkan adanya hubungan PPn dengan ketidakpatuhan pabrik sawit terhadap Permentan 01/2018 tersebut adalah bias data pemasukan pajak dari sektor TBS Petani. Sebab pabrik sawit “nakal” akan berlindung dalam penentuan harga sendiri.

"Kami Petani Sawit Indonesia sepakat apabila PPN TBS diturunkan 1%, namun kami mengkuatirkan apabila PPN 1% ini akan dibebankan ke harga TBS Petani karena PPN 1 % ini sepengetahuan kami bersifat final, artinya tidak bisa di restitusi oleh Pembeli TBS kami dalam hal ini adalah PKS sebagai pembeli TBS akhir. Untuk itu kami berharap keseriusan Kementerian Pertanian untuk memastikan bahwa PPN 1% ini benar-benar tidak digantimodelkan dalam bentuk lain oleh PKS seperti misalnya memasukkan koefisien PPN 1% ini sebagai pengurang harga TBS Petani yang ditetapkan oleh PKS, khususnya PKS komersial." paparnya.

Seperti pendapat rekan-rekan petani dalam diskusi VidCon APKASINDO membenarkan ada indkikasi bahwa mendahulukan pajak TBS Petani (meskipun itu adalah kewajiban) yang selama ini PPN 10% justru sangat memberatkan petani karena pajak yang didahulukan tersebutkan diasumsikan uang bank yang jelas dihitung berbunga.

"Tapi kebanyakan pabrik sawit komersial beban bunga tersebut masuk dalam koefisien penentuan harga TBS Petani (versi sendiri), khususnya oleh PKS Komersial, secara teori ekonomi ini tidak salah pembebanan bunga bank tersebut,” papar Gulat.

Sebab selama ini banyak sekali modus yang dilakukan oleh PKS-PKS, khususnya PKS Komersial untuk menekan harga dan mengurangi (memotong) timbangan dipenerimaan TBS Petani di PKS.
Bukan rahasia lagi, kata Gulat, bahwa pada umumnya PKS, khususnya PKS komersial selama ini melakukan Pemotongan Timbangan TBS Petani antara 5%-12% bahkan sampai 20%, dengan berbagai alasan antara lain itu tadi untuk menutupi “bunga bank” mendahulukan PPN 10%, rendemen rendah, buah banyak mentah, buah petani banyak sampahnya dan lain-lain.

Jadi kata kunci dari Penurunan PPN ini adalah pertama penghematan biaya produksi karena semakin besar Nilai Rupiah yang dapat kami restitusi atas PPN saranaproduksi yang kami belanjakan seperti pupuk dan lain-lain; kedua penurunan PPN ini akan menjadi kilometer nol perbaikan tataniaga TBS yang wajib berdasarkan Permentan N0 01/2018, ketiga harga TBS Petani baik itu yang PKP maupun yang Non PKP akan terdongkrak karena beban Pembeli TBS Petani seperti PKS atau RAM akan berkurang.

"Namun demikian kami sebagai organisasi Petani menghimbau kepada semua Petani Sawit supaya mengurus unit usahanya baik perorangan maupun kelompok tani atau koperasi supaya menjadi PKP, sehingga manfaat kebijakan PPN 1% ini akan bisa dirasakan oleh semua Petani Kelapa Sawit, terkhusus pengembalian PPN 10% Saprodi yang dibelanjakan seperti pupuk, apalagi Pupuk adalah komponen biaya Produksi yang terbesar mencapai 60% dari total biaya produksi.

Gulat menambahkan, supaya Pihak Perpajakan memperhatikan kesulitan Petani maupun koperasi/kel tani dalam sistem administrasi Perpajakan, hal ini menjadi keluhan yang mengemuka saat diskusi,  karena hal ini menjadi kendala utama untuk menghimbau Petani atau kel tani menjadi Unit PKP.

"Perhatian yang diberikan bisa dalam bentuk penyuluhan, pelatihan atau pendampingan administrasi perpajakan, " ujar Gulat mengakhiri pembicaraan.(ist)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar