Ekonomi

Produksi Diperkirakan Naik, Harga CPO Terus Melemah

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Harga minyak sawit mentah (CPO) merosot terus. Di tengah kekhawatiran permintaan yang melemah, produksi bulan Februari diperkirakan meningkat dan membuat harga CPO tertekan.

Pada perdagangan Kamis (20/2/2020), harga CPO kontrak pengiriman Mei 2020 di Bursa Malaysia Derivatif (BMD) ditransaksikan di level RM 2.518/ton. Harga CPO melorot 29 ringgit atau terkoreksi 1,14 persen dibanding posisi penutupan perdagangan kemarin.

Sejak awal tahun harga CPO terus mengalami tren penurunan. Sejak mencetak rekor tertinggi pada 10 Januari 2020, harga CPO terus turun. Sejak awal tahun harga CPO telah terkoreksi 18,6 persen. 

Ada tiga faktor utama yang membuat harga CPO yang dulunya perkasa menjadi loyo. Pertama adalah hubungan India dan Malaysia yang panas. Ketegangan terjadi di antara keduanya setelah Perdana Menteri Mahathir Mohammad melayangkan kritik pedas ke India.

Pertama Mahathir menilai India telah menginvasi dan menduduki Kashmir. Jammu dan Kashmir merupakan daerah konflik yang diperebutkan India dan Pakistan. Kritik kedua dilayangkan Mahathir terkait UU Kewarganegaraan India yang baru dan dinilai tak toleran bahkan anti-Islam.

India pun geram dibuatnya. Merasa tak terima dan urusan dalam negerinya dicampuri, India memilih untuk mengambil langkah retaliasi. Pada 8 Januari 2020, India resmi memberlakukan larangan impor minyak sawit olahan. Bahkan secara informal pemerintah India memboikot produk minyak sawit Malaysia.

Alhasil ekspor Malaysia ke India drop sejak Oktober 2019. India merupakan pembeli terbesar minyak nabati dunia. Maklum negara dengan populasi mencapai 1,2 miliar penduduk tersebut membutuhkan banyak minyak untuk konsumsi domestik.

Faktor kedua yang memberikan tekanan pada harga CPO adalah wabah virus corona yang tengah menjangkiti China.

Data terbaru yang dirilis John Hopkins University CSSE, sampai hari ini sudah ada 74.186 kasus positif terinfeksi patogen mematikan ini dilaporkan di China. Jumlah kematian yang dilaporkan di China kini mencapai 2.005 orang.

Hal tersebut dikhawatirkan membuat permintaan terhadap minyak sawit menjadi terganggu. Maklum China merupakan pembeli terbesar kedua minyak nabati setelah India

Ada sentimen lain yang juga menggerus keperkasaan CPO yaitu sikap Eropa. Perusahaan-perusahaan makanan asal Eropa termasuk Nestle meminta produsen minyak sawit yaitu Indonesia dan Malaysia untuk mengurangi kadar kontaminan mineral hidrokarbon dalam minyak sawit.

"Hal ini bisa diatasi, tetapi biayanya mahal. Pelumas yang kami gunakan terkadang tercampur dengan produk kami. Untuk mengatasi hal ini, kami harus menggunakan pelumas yang aman untuk dikonsumsi (food grade), tetapi opsi tersebut sangatlah mahal" tambahnya.

Menurut laporan Reuters, pelumas food grade itu biayanya bisa 8-10x lebih mahal dari harga pelumas biasa. Jika hal ini dilakukan oleh para pelaku industri sawit, maka jelas labanya akan tergerus.

Di tengah gempuran dahsyat ketiga sentimen di atas, ada satu lagi sentimen yang turut memberatkan harga CPO yakni kemungkinan kenaikan produksi di bulan Februari. Pada Januari lalu, output turun 12,6 persen menjadi 1,17 juta ton.

Reuters melaporkan berdasarkan data dari regulator industri mengatakan produksi untuk periode Februari diperkirakan naik 5 persen sampai 8 persen. Kala permintaan terancam turun tetapi produksi malah naik, wajar harga jadi tertekan seperti sekarang ini. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar