Politik

Gunung Agung Meletus, Purnama Suci Bakal Sepi di Segara Anak

Gunung Agung mendekaki ‘hari H’ untuk memuntahkan laharnya. Itu berdasar prediksi  PVMBG. Sebab pergerakan magma gunung ini mulai mendekati permukaan, dan itu sebagai tanda, bahwa peluang terjadinya letusan cukup besar. Arus pengungsian juga terus berjalan. Terbagi di 9 kabupaten/kota yang jumlahnya semaakin bertambah. Di Kabupaten Badung 15 titik (5.879 jiwa), Kabupaten Bangli 30 titik (5.076 jiwa), Kabupaten Buleleng 26 titik (16.901 jiwa), Kota Denpasar 27 titik (2.539 jiwa), Kabupaten Gianyar 13 titik (1.011 jiwa), Kabupaten Jembrana 29 titik (514 jiwa), Kabupaten Karangasem 100 titik (39.859 jiwa), Kabupaten Klungkung 162 titik (19.456 jiwa), dan Kabupaten Tabanan 27 titik (4.851 jiwa). Jika letusan ini terjadi, maka tidak hanya Pulau Bali dan Pulau Jawa yang terkena imbasnya, tetapi juga pulau yang berdekatan dengan Pulau Bali, yaitu Pulau Lombok. Pulau itu bakal kusam, termasuk di area Gunung Rinjani, Puncak Sangkareang dan Segara Anak. Bulan purnama biasanya terasa meriah di Segara Anak, danau yang ada di Gunung Rinjani, Pulau Lombok. Tua muda berjalan kaki mendaki gunung ini untuk melakukan ritus bulanan, saat purnama penuh. Di bulan yang indah itu, Suku Sasak meramaikannya dengan pemeluk agama Hindu. Iring-iringan kecil acap ditemui sejak dua hari sebelum purnama. Mereka menyusuri rute Senaru-Puncak Sangkareang-Segara Anak, dan Sembalun Lawang-Segara Anak. Ini yang menyebabkan hari-hari sebelum purnama itu suasana pendakian ke puncak Gunung Rinjani lebih ramai ketimbang hari-hari biasa. “Iya, ini kan jelang purnama,” kata Made (28), yang juga mengikuti acara yang disebut sebagai ritus tabur mas itu. Menurut warga yang tinggal di Kota Mataram itu, saban bulan purnama Gunung Rinjani didatangi untuk upacara itu. Namun menurutnya, selain Rinjani, tepatnya Segara Anak, acara ini juga marak di Pura Lingsar yang ada di Kota Mataram. Apakah acara itu untuk umat Hindu? “Sing, Suku Sasak juga banyak ikut. Mereka ikut di Segara Anak, di Lingsar, juga di Rambitan. Dulu malah di Sade juga. Tapi sekarang tidak,” kata lelaki yang nenek-moyangnya berasal dari Bali itu. Di acara Segara Anak itu, Suku Sasak biasanya membaur dengan para pemeluk agama Hindu. Mereka memberi sesaji di gigir danau dan di Gunung Baru, yang merupakan anak Gunung Rinjani. Mereka ‘dikelompokkan’ sebagai pengikut ‘Islam Wetu Telu’, sebuah istilah yang merujuk pada pemeluk agama Islam yang belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Menurut sejarawan daerah ini, penyebutan Islam Wetu Telu itu dilakukan Belanda. Itu karena ritus yang dilakukan selalu hitungan tiga. Pusat ajaran ini selain ada di Bayan dan Rambitan, juga terdapat di daerah Lombok Timur, yaitu di Rambanbiak yang sekarang berganti nama Dasan Baru. “Tapi kini sudah makin jarang ditemui. Itu tinggal yang tua-tua. Generasi baru syariatnya makin bagus dan mereka sudah tidak lagi mengamini generasi sebelumnya,” katanya. Agama Islam di Pulau Lombok  disebarkan Sunan Giri Prapen yang berasal dari Gresik, Jawa Timur. Dalam penyebaran itu, banyak unsur lokal yang masuk di ajaran ini. Dalam proses waktu, Islam yang tumbuh di Pulau Lombok  tidak kental syariatnya, karena percampuran dengan banyak paham yang sebelumnya telah berkembang di pulau ini. Dari Hindu menuju era Buddha dikenal dengan ‘agama Budha-Budi’, dan tatkala Islam menjamur di wilayah ini, melahirkan ‘Islam wetu telu’, karena ritus yang dijalankan selalu bersendi pada hitungan tiga. Ritus ini sebenarnya tidak jauh beda dengan Kejawen di Jawa, yang hakekatnya adalah sinkretisme. Akulturasi dari berbagai paham yang membentuk paham baru, yang saban daerah punya sebutan masing-masing. Namun di tahun 1965 ajaran ini mengerucut pada keyakinan induknya. Yang cenderung meyakini Buddha kembali ke asalnya, juga yang Hindu atau pun Islam. Itu karena di tahun itu terjadi represi politik, yang membuat pemeluk sinkretisme ini merasa terancam. Djoko Su’ud Sukahar


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar