Regulasi

Perlu Harmonisasi Regulasi Akhiri Polemik Tata Kelola Sawit

Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyebutkan sekitar 81 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak mematuhi tata kelola sawit menuai polemik. Pasalnya, pernyataan ini semakin mendiskreditkan citra komoditas kelapa sawit di pasar global yang saat ini tengah terpuruk.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB), Achmad Manggabarani mengatakan, berbagai persoalan seperti kewajiban plasma 20 persen, kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU), dan konflik lahan dipicu oleh sejumlah regulasi yang bersinggungan dan tidak sinkron antara satu kebijakan dan kebijakan lain.

Menurutnya, hal ini bukan soal benar atau salah, tapi harus dilihat dan dipertimbangkan dasar regulasi yang dipakai agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki. Apalagi semua regulasi tidak berlaku surut.

"Di sisi lain, pemerintah sedang bekerja keras membangun kampanye positif sawit di pasar global," katanya.

Manggabarani menuturkan, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma ada sejak tahun 2007 seiring terbitnya Permentan No.26/2007. Permentan itu mengacu kepada UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi.

“Jadi swasta yang membangun kebun sebelum tahun 2007 tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan tersebut tidak berlaku surut. Sayangnya, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan tersebut,” kata dia.

Persoalan lain adalah kewajiban plasma 20 persen punya telaah dan versi  yang berbeda-beda antara instansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20 persen dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.

“Persoalan ini juga menjadi tidak mudah karena Kementerian Pertanian mensyaratkan lahan plasma harus berada luar HGU. Padahal untuk mencari lahan di luar HGU yang clear and clean bukan persoalan yang mudah karena adanya ketimpangan penguasaan lahan," sebutnya.

Sementara, regulasi yang terbit belakangan ikut memicu persoalan baru di perkebunan sawit. Sejak awal, kebun sawit berasal dari Area Penggunaan Lain (APL) yang kemudian disertifikatkan menjadi Hak Guna Usaha (HGU).

Persoalannya, tiba-tiba muncul pasca regulasi kehutanan yang mengubah tata ruang dan menetapkan kawasan HGU tersebut menjadi hutan lindung. “Konflik seperti ini terjadi di banyak provinsi, salah satunya Kalimantan Tengah. Kalau masalahnya seperti ini siapa yang mau disalahkan. Hingga kini masalah tersebut  belum punya solusi,” kata Manggabarani.

Manggabarani bilang jika sejak awal, perkebunan sawit berdiri di atas kawasan hutan lindung, hal itu jelas merupakan persoalan hukum. “Tapi kalau perkebunan sawit yang ada sudah bersertifikat dan ada jauh sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung, pemerintah perlu tegas dan punya solusi dan tidak saling menyalahkan," katanya.

Manggabarani mengungkapkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) juga menjadi komitmen dari perkebunan sawit di Indonesia untuk melakukan penanaman secara berkelanjutan. Hingga kini, setidaknya ada 3-4 juta hektar perkebunan sawit besar telah bersertifikat ISPO.

“Untuk mendapatkan sertifikat ISPO, banyak persyaratan yang harus ditaati termasuk lahan yang clear and clean. Karena itu, klaim 81 persen perkebunan tidak mengikuti tata kelola perkebunan sawit agak diragukan karena tidak sejalan dengan kebijakan lain yang diberlakukan pemerintah melalui ISPO," katanya. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar