Regulasi

Sawit Indonesia Bakal Kena Pajak 20 Persen di Rusia

Kelapa sawit. (Int)

MOSKOW - Sampai saat ini Rusia masih menjadi salah satu negara andalan ekpor produk minyak kelapa sawit Indonesia dengan volume 770 ribu ton per tahun, menduduki peringkat ke-9 dari 10 negara importir minyak sawit Indonesia. Namun bukan tanpa tantangan, pasalnya negara tersebut berencana untuk menaikkan pajak atau bea masuk sawit Indonesia ke Rusia dari 10 persen menjadi 20 persen.

Demikian terungkap dari forum diskusi dalam kegiatan Business Forum Indonesia-Rusia yang digelar di Rusia, Kamis (1/8/2019). Peningkatan bea masuk itu sebagai konsekuensi dari kondisi minyak sawit Indonesia yang dinilai tidak sehat, dari sisi pengolahan.

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) membantah bahwa minyak sawit Indonesia diolah dengan cara yang tidak sehat. Menurutnya, kebun dan pabrik kelapa sawit di Indonesia, terutama perusahaan yang tergabung dalam GIMNI, International Society for Prosthetics and Orthotics (ISPO), itu artinya sudah memenuhi standar yang harus dipenuhi.

"Kalau soal gliserin ester, kita sudah makan ratusan tahun juga tidak apa-apa," ujar Ketua GIMNI, Saad Sinaga, saat berbincang dengan wartawan usai forum.

Namun demikian, dia juga mengajak kepada seluruh perusahaan sawit di Indonesia untuk meningkatkan kualitas produk sawit ekspor. Perusahaan sawit harus meningkatkan image menjadi pabrik yang bersih. Indonesia dengan Malaysia bahkan telah sepakat untuk membuat kriteria crude palm oil (CPO) menjadi tiga grade, premium, standar, dan industri.

Perbedaannya, premium itu Dobi (salah satu parameter kualitas sawit) di atas 2,8 dan asam lemak bebas/free fatty acid (FFA) 3 persen. 

"Tapi kita protes 2,8 persen itu rasanya susah, kalau 2,4 persen OK, standarnya Dobi minimal 2 dan FFA 5 persen," ujar Saat.

Untuk memenuhi itu, lanjut Saat, pabrik kelapa sawit (PKS) akan mulai belajar membuat produk yang baik. Untuk itu, GIMNU minta Kementerian Perindustrian membuat standar bersama.

"Ibaratnya kalau kita buka restoran, minta izin ke pemerintah, diperiksa kalau menemukan kecoa atau apa perusahaan ditutup, PO Mill atau PKS," ungkap Saat.

Kedua, soal gliserin ester, itu terjadi kalau minyaknya diolah tidak benar, artinya buahnya lama baru diolah. Karena itu suatu pabrik harus terikat dengan kebun sehingga untuk mengaturnya gampang. Itu akan susah dilakukan untuk small holder yang memiliki pabrik saja, atau petani swadaya yang tidak terikat dengan perusahaan yang memiliki pabrik.

"Maka itu saya selalu sampaikan, pohon sawit bukanlah pohon cabe, bukan pohon nangka, artinya perlu di-manage," jelasnya.

Setelah langkah tersebut, apakah Rusia tetap bakal mengenakan pajak 20 persen, menurut Saad, belum tentu diterapkan. Menurutnya, rencana yang sama pernah terjadi dua tahun lalu, bahwa Rusia akan membuat standar PV maksimum 1, tapi setelah dijelaskan hal itu tidak mungkin terjadi karena proses pengapalan, standar itu tidak jadi naik.

"Waktu itu Jokowi ketemu dengan Putin di China, mereka batalkan. Jadi, ini soal lobi pemerintah," jelas Saad. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar