Batubara dan Kelapa Sawit Tertekan

Analis Menilai Rasio Solvabilitas Masih Terkendali

Kelapa sawit. (Int)

JAKARTA - Efek perang dagang mulai merembet pada komoditas batubara dan minyak sawit Indonesia yang tercermin pada penurunan harga global. 

Data Malaysia Derivatif Exchange menunjukkan harga CPO sejak penutupan pasar akhir tahun lalu hingga Senin (22//20197) turun 9,73 persen ke level RM 1.985. Sementara itu, data ICE Newscastle menunjukkan harga batubara juga turun 21,6 persen ke level US$ 75,95. 

Analis Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hady menjelaskan penurunan harga batubara sejalan dengan perlambatan sektor manufaktur di China, yang juga menurunkan konsumsi listrik. 

"Mengingat China masih menjadi importir terbesar batubara di kawasan Asia untuk memenuhi kebutuhan PLTU-nya," jelas Robertus.

Sementara untuk sektor perkebunan kelapa sawit, perang dagang membuat China lebih memprioritaskan konsumsi minyak kedelai sebagai alat diplomasi perdagangan dengan Amerika Serikat (AS). Hal tersebut membuat tantangan semakin berat bagi industri batubara dan minyak sawit di tahun ini. 

Sebelumnya lembaga pemeringkat Moody's menjelaskan kondisi Indonesia dan China akan menekan harga batubara. Hal ini akan menyebabkan pendapatan perusahaan batubara menjadi lemah dan menurunkan rasio kemampuan membayar utang dan bunga utang hingga tahun 2020. 

Moody's juga melihat produsen migas akan mengalami pelemahan leverage alias rasio solvabilitas karena upaya mendorong belanja modal untuk skala operasi. Namun, peningkatan rata-rata produksi harian bisa meningkatkan pendapatan sehingga bisa memitigasi resiko pelemahan tersebut. 

Selain menggunakan debt to equity ratio (DER), Robertus menambahkan kemampuan membayar utang dan kemampuan membayar bunga utang dapat dilihat dari interest coverage ratio (ICR). Menurutnya kemampuan beberapa perusahaan yang bergerak di batubara masih cukup terkendali. (*)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar