Ekonomi

Kinerja 2018, Laba Bersih SGRO Terjun Bebas

JAKARTA-PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) melaporkam kinerja 2018 kurang stabil. Bahkan, laba bersih perseroan terjun bebas 76,34% year-on-year (YoY) menjadi Rp 234,7 miliar dari yang sebelumnya Rp 441,88 miliar. 

SGRO hanya mampu mencatatkan marjin bersih (net margin) 1,73%, sedangkan di tahun 2017 net margin perusahaan masih di level 6,49 persen.

Jika margin bersih perusahaan sampai terpangkas cukup signifikan, ini berarti kinerja top line SGRO tidak hanya tertekan karena penurunan penjualan, tapi juga kenaikan pada pos-pos pembiayaan.

Pada pos pendapatan, konsistensi strategi perusahaan cukup dipertanyakan, pasalnya capaian penjualan SGRO selalu naik turun, macam roller coaster. 

Berikut adalah pencapaian penjualan SGRO 5 tahun terakhir

Tahun lalu, penjualan perusahaan tumbuh negatif 11,32% YoY menjadi Rp 3,21 triliun dari yang sebelumnya Rp 3,62 triliun. Penurunan tersebut disebabkan anjloknya capaian penjualan produk kelapa sawit sebesar 11,25% YoY menjadi hanya Rp 3,11 triliun.

Kinerja tahun lalu, semakin diperparah dengan melonjak-nya biaya yang dikeluarkan perusahaan, bukan dari segi nilai tapi dari proporsi-nya terhadap pendapatan yang masuk. 

Sejati-nya, perusahaan yang menunjukkan kinerja produktif adalah ketika proporsi biaya produksi dan penjualan yang dikeluarkan dapat ditekan seiring dengan meningkatnya penjualan. Jika yang terjadi sebaliknya, berarti perusahaan belum mampu bersikap produktif.

Pada 2018, proporsi beban pokok penjualan dan pendapatan perusahaan naik menjadi 78,46% padahal di tahun 2017 hanya ada di level 73,94%. Peningkatan proporsi pada beban pokok sangat krusial karena jika proporsi-nya naik, berarti marjin yang dikantongi perusahaan otomatis tertekan.

Terlebih lagi beban keuangan SGRO juga bertambah 13,33 YoY menjadi Rp 193,97 miliar, sehingga semakin menekan laba perusahaan. Peningkatan beban keuangan ini disebabkan bertambahnya utang usaha dan utang bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Jika dilihat lebih detil, peningkatan utang ini mendorong pos total liabilitas SGRO tumbuh cukup signifikan sebesar 16,6% YoY menjadi Rp 4,99 triliun. Sedangkan total aset perusahaan hanya berhasil tumbuh tipis 7,82% YoY menjadi Rp 9,02 triliun.

Dengan kinerja tahun lalu yang kurang memuaskan, nampaknya harga saham AGRO diapresiasi terlalu tinggi.

Pasalnya, tahun lalu perusahaan hanya mampu mencatatkan laba per saham Rp 31, dan dengan harga saham AGRO sekitar Rp 2.550/unit, artinya price earning ratio/PER mencapai 82,26 poin. Nilai ini sudah 17 kali lipat lebih tinggi dari PER industri perkebunan yang hanya sebesar 4,9 poin.

Sebagai informasi PER adalah salah satu bentuk analisis fundamental perusahaan dengan cara membagi harga saham saat ini dengan keuntungan tahunan per saham. 

Jadi PER dapat menggambarkan juga ekspektasi investor terhadap return (perolehan) emiten. PER emiten dikatakan tinggi (overvalued) jika nilainya lebih besar dibanding PER Industri, dan sebaliknya untuk PER rendah. PER tinggi artinya saham perusahaan sudah mahal, sedangkan PER rendah berarti saham perusahaan cukup murah.

Dengan demikian, dari sisi fundamental, kedepannya harga saham SGRO diproyeksikan dapat terkoreksi karena saham emiten tersebut sudah terlalu mahal.(rdh/cnbc)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar