Regulasi

Luhut: Kita akan Lawan Diskriminasi Eropa terhadap Sawit Indonesia

Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan

JAKARTA- Diskriminasi negara-negara uni eropa terhadap produk sawit Indonesia, diantaranya minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan harus dilawan. Dikatakan Luhut seluruh pengusaha dan komponen yang terlibat dalam sawit harus kompak membahas diskriminasi Uni Eropa.

Demikian disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, usai mengikuti rapat.

"Kita fight-lah. Kan ada berbagai regulasi dan termasuk ini baru semacam draft studi. Tapi pas ini disetujui kan jadi dasar. Kita harus kompak untuk bilang nggak setuju," ungkapnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa, 26 Februari 2019.

Regulasi yang dimaksud cenderung mendiskreditkan CPO RI di antaranya Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya (delegated act). RED II adalah kebijakan Uni Eropa terkait produksi dan promosi energi terbarukan yang akan berlaku pada 2020-2030.

Kebijakan ini menetapkan Uni Eropa wajib memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030. Untuk mendukungnya, Uni Eropa akan menerbitkan delegated act, yang isinya menetapkan kriteria tanaman pangan yang berisiko tinggi dan berisiko rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi.

Kriteria ini dikenal sebagai konsep ILUC (indirect land use change/perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung). Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa.

Sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC. Di sinilah letak diskriminasi tersebut.

"Palm oil sebagai biodiesel stok nggak masuk dalam spesifikasi mereka. Menurut mereka kan itu high risk dan deforestion. Kalau nggak lolos, kita nggak bisa masuk pasar Eropa," beber Joko.

"Pasar kita cukup besar, meskipun beberapa tahun ini turun. Tapi kan kita bisa masuk dalam biodiesel, dampaknya jadi sangat penting," lanjutnya.

Kekhawatiran Joko bukan tanpa alasan. Rilis data GAPKI menunjukkan, ekspor seluruh produk sawit RI (CPO dan produk turunannya, biodiesel, serta oleochemical) sepanjang tahun lalu naik 8% menjadi 34,71 juta ton.

Dari jumlah tersebut, India masih menjadi konsumen utama produk sawit RI dengan total ekspor ke Negeri Bollywood sepanjang 2018 mencapai 6,71 juta ton.

Posisi kedua ditempati Uni Eropa dengan ekspor sepanjang tahun lalu sebesar 4,78 juta ton, turun 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan itu disebabkan kampanye negatif yang terjadi terus menerus di Benua Biru, baik melalui rancangan regulasi RED II di tingkat Uni Eropa maupun hambatan impor di negara anggota masing-masing.

Wakil Ketua Umum GAPKI, Togar Sitanggang, menambahkan secara konkret langkah yang diambil bisa sampai pada pengiriman negosiator ke Uni Eropa, meski kemungkinan merubah keputusan secara substansi amat kecil.

"Bisa saja. Tapi sebenarnya kan sudah tidak bisa masuk, prosesnya sudah jalan. Sudah di-announced, sudah diputuskan, jadi ngga ada lagi keputusan besarnya. Jadi untuk lobi nggak ada," tandasnya.

Dia menjelaskan pula, dalam delegated act, RI diberikan kesempatan sampai dengan 8 Maret 2019 untuk menyampaikan merespons. Pada 8 Maret, jawaban yang disampaikan masih dirancang dengan melibatkan berbagai pihak termasuk Kementerian Luar Negeri.

"Jawaban ini harus ada sinergi, itulah yang menjadi tugas kami dari GAPKI, untuk membuat nada jawaban yang sama."

"Setidaknya kita sudah menyuarakan apa yang kita anggap benar. Kan ada regulasi diberikan kesempatan berkomentar. Mungkin kita akan men-challenge itu, seperti yang sudah diberitakan mungkin akan ke WTO," pungkasnya.(rdh/cnbc)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar