Industri

2018, Rp42 Triliun untuk Impor Ampas Makanan

kedelai

JAKARTA-Sepanjang tahun 2018 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya impor ampas atau sisa industri makanan (kode HS 23) yang nilainya mencapai 3,06 miliar dolar atau sekitar Rp42 triliun lebih.

Sebetulnya, apa ampas makanan itu, berikut penjelasannya seperti yang disampaikan Wakil Ketua Komite Tetap Industri Pakan dan Veteriner, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) FX Sudirman yang mengatakan penggunaan istilah ampas/sisa industri makanan kurang tepat untuk digunakan karena bisa menimbulkan persepsi negatif di publik.

"Orang kan pasti bertanya-tanya, kok kita mengimpor ampas makanan sedemikian besar? Padahal sebenarnya itu 100% digunakan sebagai bahan baku pakan ternak dan tidak diproduksi di dalam negeri," ujar Sudirman, Kamis, 7 Februari 2019  malam.

Dia menyarankan BPS agar bisa merevisi nomenklatur kode HS tersebut supaya bisa lebih dipahami masyarakat umum. Dia menjelaskan, nilai impor tersebut sebenarnya hampir 100% dipenuhi impor bungkil kedelai (soyabean meal).

Bungkil kedelai (kode HS 2304) adalah salah satu hasil dari ekstraksi/pengolahan kedelai, selain minyak kedelai (soybean oil) tentunya. Bungkil kedelai merupakan sumber protein tinggi untuk pakan ternak sehingga menjadi pilihan industri pakan di Tanah Air.

Selama ini, bungkil kedelai memang selalu diimpor dari Brasil dan Argentina sebagai dua produsen utama global, dengan porsi impor yang hampir sama.

"Jadi saran saya kepada BPS supaya lebih detail penamaannya, padahal itu sumber protein tinggi. Kita kan memang importir kedelai, wong untuk tahu tempe saja impor. 2017 lalu kita importir terbesar kedua bungkil kedelai sesudah Uni Eropa. Tahun lalu mungkin kita kalah oleh Vietnam karena industri pakan ternak mereka juga berkembang pesat, khususnya babi," jelas Sudirman seperti dilaporkan cnbcindonesia.

Dia menjelaskan, industri pakan RI cenderung mengimpor bungkil kedelai dari Brasil dan Argentina karena kedua negara itu memilih mengolah biji kedelainya terlebih dahulu di dalam negeri, berbeda dengan produsen utama lainnya, AS.

"Brasil itu nggak mau ekspor kedelai mentah, dia kenakan bea ekspor. Jadi mereka olah dulu, minyak kedelainya mereka gunakan. Nah kita hanya impor bungkil karena di sini kan minyak goreng kita pakai CPO. Beda lagi dengan China yang tiap tahun impor sekitar 100 juta ton kedelai, mereka olah di dalam negeri," jelasnya.

Sudirman menyebutkan, proporsi bahan baku dalam pakan ternak umumnya terdiri dari 50% jagung, 25% bungkil kedelai dan 25% bahan lain seperti tepung daging dan tulang serta bungkil inti sawit (palm kernel meal). Namun dari nilainya, 25% bungkil kedelai jauh lebih mahal harganya dibandingkan kandungan jagung.(rd)

 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar